Selasa, 26 April 2011

SEJARAH ORANG YAHUDI

Seperti telah ditunjukkan di awal, semua tanah Palestina, khususnya Yerusalem, adalah suci untuk orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Muslim. Alasannya adalah karena sebagian besar nabi-nabi Allah yang diutus untuk memperingatkan manusia menghabiskan sebagian atau seluruh kehidupannya di tanah ini.
Menurut studi sejarah yang didasarkan atas penggalian arkeologi dan lembaran-lembaran kitab suci, Nabi Ibrahim, putranya, dan sejumlah kecil manusia yang mengikutinya pertama kali pindah ke Palestina, yang dikenal kemudian sebagai Kanaan, pada abad kesembilan belas sebelum Masehi. Tafsir Al-Qur'an menunjukkan bahwa Ibrahim (Abraham) AS, diperkirakan tinggal di daerah Palestina yang dikenal saat ini sebagai Al-Khalil (Hebron), tinggal di sana bersama Nabi Luth (Lot). Al-Qur'an menyebutkan perpindahan ini sebagai berikut:
Kami berfirman: "Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim", mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling merugi. Dan Kami seIamatkan Ibrahim dan Luth ke sebuah negeri yang Kami telah memberkahinya untuk sekalian manusia. (Qur'an, 21:69-71)
Daerah ini, yang digambarkan sebagai “tanah yang telah Kami berkati,” diterangkan dalam berbagai keterangan Al-Qur'an yang mengacu kepada tanah Palestina.
Sebelum Ibrahim AS, bangsa Kanaan (Palestina) tadinya adalah penyembah berhala. Ibrahim meyakinkan mereka untuk meninggalkan kekafirannya dan mengakui satu Tuhan. Menurut sumber-sumber sejarah, beliau mendirikan rumah untuk istrinya Hajar dan putranya Isma’il (Ishmael) di Mekah dan sekitarnya, sementara istrinya yang lain Sarah, dan putra keduanya Ishaq (Isaac) tetap di Kanaan. Seperti itu pulalah, Al-Qur'an menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim mendirikan rumah untuk beberapa putranya di sekitar Baitul Haram, yang menurut penjelasan Al-Qur'an bertempat di lembah Mekah.
Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. (Qur'an, 14:37)
Akan tetapi, putra Ishaq Ya’kub (Jacob) pindah ke Mesir selama putranya Yusuf (Joseph) diberi tugas kenegaraan. (Putra-putra Ya’kub juga dikenang sebagai “Bani Israil.”) Setelah dibebaskannya Yusuf dari penjara dan penunjukan dirinya sebagai kepala bendahara Mesir, Bani Israel hidup dengan damai dan aman di Mesir.
Suatu kali, keadaan mereka berubah setelah berlalunya waktu, dan Firaun memperlakukan mereka dengan kekejaman yang dahsyat. Allah menjadikan Musa (Moses) nabi-Nya selama masa itu, dan memerintahkannya untuk membawa mereka keluar dari Mesir. Ia pergi ke Firaun, memintanya untuk meninggalkan keyakinan kafirnya dan menyerahkan diri kepada Allah, dan membebaskan Bani Israil yang disebut juga orang-orang Israel. Namun Firaun seorang tiran yang kejam dan bengis. Ia memperbudak Bani Israil, mempekerjakan mereka hingga hampir mati, dan kemudian memerintahkan dibunuhnya anak-anak lelaki. Meneruskan kekejamannya, ia memberi tanggapan penuh kebencian kepada Musa. Untuk mencegah pengikut-pengikutnya, yang sebenarnya adalah tukang-tukang sihirnya dari mempercayai Musa, ia mengancam memenggal tangan dan kakinya secara bersilangan.

Menyusul wafatnya Nabi Yusuf (Joseph), Bani Israel mengalami kekejaman tak terperikan di tangan Firaun.
Meskipun Firaun menolak permintaannya, Musa AS dan kaumnya meninggalkan Mesir, dengan pertolongan mukjizat Allah, sekitar tahun 1250 SM. Mereka tinggal di Semenanjung Sinai dan timur Kanaan. Dalam Al-Qur'an, Musa memerintahkan Bani Israil untuk memasuki Kanaan:
Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari kebelakang (karena takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang merugi. (Qur'an, 5:21)
Setelah Musa AS, bangsa Israel tetap berdiam di Kanaan (Palestina). Menurut ahli sejarah, Daud (David) menjadi raja Israel dan membangun sebuah kerajaan berpengaruh. Selama pemerintahan putranya Sulaiman (Solomon), batas-batas Israel diperluas dari Sungai Nil di selatan hingga sungai Eufrat di negara Siria sekarang di utara. Ini adalah sebuah masa gemilang bagi kerajaan Israel dalam banyak bidang, terutama arsitektur. Di Yerusalem, Sulaiman membangun sebuah istana dan biara yang luar biasa. Setelah wafatnya, Allah mengutus banyak lagi nabi kepada Bani Israil meskipun dalam banyak hal mereka tidak mendengarkan mereka dan mengkhianati Allah.
Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mu'min dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Qur'an, 48:26)
Karena kemerosotan akhlaknya, kerajaan Israel mulai memudar dan ditempati oleh berbagai orang-orang penyembah berhala, dan bangsa Israel, yang juga dikenal sebagai Yahudi pada saat itu, diperbudak kembali. Ketika Palestina dikuasai oleh Kerajaaan Romawi, Nabi ‘Isa (Jesus) AS datang dan sekali lagi mengajak Bani Israel untuk meninggalkan kesombongannya, takhayulnya, dan pengkhianatannya, dan hidup menurut agama Allah. Sangat sedikit orang Yahudi yang meyakininya; sebagian besar Bani Israel mengingkarinya. Dan, seperti disebutkan Al-Qur'an, mereka itu yang: ": telah dila'nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan 'Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. (Al-Qur'an, 5:78) Setelah berlalunya waktu, Allah mempertemukan orang-orang Yahudi dengan bangsa Romawi, yang mengusir mereka semua keluar dari Palestina.
Tujuan penjelasan yang panjang lebar ini adalah untuk menunjukkan bahwa pendapat dasar Zionis bahwa “Palestina adalah tanah Allah yang dijanjikan untuk orang-orang Yahudi” tidaklah benar. Pokok permasalahan ini akan dibahas secara lebih rinci dalam bab tentang Zionisme.
Zionisme menerjemahkan pandangan tentang “orang-orang terpilih” dan “tanah terjanji” dari sudut pandang kebangsaannya. Menurut pernyataan ini, setiap orang yang berasal dari Yahudi itu “terpilih” dan memiliki “tanah terjanji.” Padahal, ras tidak ada nilainya dalam pandangan Allah, karena yang penting adalah ketakwaan dan keimanan seseorang. Dalam pandangan Allah, orang-orang terpilih adalah orang-orang yang tetap mengikuti agama Ibrahim, tanpa memandang rasnya.
Al-Qur'an juga menekankan kenyataan ini. Allah menyatakan bahwa warisan Ibrahim bukanlah orang-orang Yahudi yang bangga sebagai “anak-anak Ibrahim,” melainkan orang-orang Islam yang hidup menurut agama ini:
Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad), beserta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad), dan Allah adalah Pelindung semua orang-orang yang beriman. (Qur'an, 3:68)

SEJARAH PERANG PUPUTAN


Sejarah perang puputn

Pangeran jagapati dalan perang bayu
oleh : Hasan Basri, lahir di Banyuwangi, pendidikan; MI, MTs, MA sambil mondok di Pesantren ASHTRA Jember yang diasuh oleh KH. Achmad Shidiq, kemudian melanjutkan kuliah di IAIN Malang. Meminati persoalan budaya utamanya budaya Using Banyuwangi, sejarah. Aktifitas; Guru, Sekretaris DKB (Dewan Kesenian Blambangan), mengelola majalah Seblang (berbahasa Using), anggota Tankinaya Institute dan Desantara.
Bayu merupakan bagian dari wilayah Blambangan yang sekarang masuk dalam daerah administratif Kecamatan Songgon Kabupaten Banyuwangi. Sebuah kawasan hutan sekitar 20 km arah barat daya kota Banyuwangi. Peperangan tersebut dikobarkan dan dipimpin oleh seorang tokoh yang bernama Mas Rempek yang gugur di medan tempur.
Peranan tokoh Mas Rempek dalam perang ini sangat penting. Bersama para pengikutnya dan pendukungnya ia mampu memobilisir dan menumbuhkan jiwa patriotik dan nasionalisme seluruh lapisan rakyat Blambangan.
Selain itu, faktor sosial politik dan ekonomi sebagai akibat tindakan yang ditempuh VOC merupakan faktor penyebab pecahnya peperangan ini. Sebagaimana dikemukakan Neil J. Smelser yang mengemukakan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan timbulnya perilaku kolektif ialah adanya ketegangan sosial yang disebabkan karena adanya transformasi politik, sosial ekonomi dan kultural. Situasi tegang itu akhirnya dibuat bermakna oleh “aktor” atau tokoh gerakan.[1]
A. Latar Belakang Terjadinya Perang Bayu
Pada tahun 1743 secara sepihak terjadi perjanjian antara Paku Buwana dengan Gubernur Jendral Van Imhoff di Surakarta yang isinya Paku Buwana melepaskan “haknya” di Jawa sebelah timur dari Pasuruan, yang sebenarnya Belanda sendiri menyadari bahwa yang merasa melepaskan haknya itu sebenarnya tak pernah berkuasa secara sungguh-sungguh atas daerah tersebut dan penguasa daerah itu menolak untuk tunduk patuh.[2] Berdasarkan perjanjian ini berarti Blambangan telah menjadi wilayah kekuasaan Belanda. Sementara di Blambangan, Mengwi telah mengambil alih kekuasaan dengan menempatkan Gusti Kuta Beda dan Gusti Ketut Kabakaba sebagai penguasa.
Orang Inggris yang sejak lama melakukan perdagangan di Ulupampang mengadakan kerja sama dengan Mengwi dengan konsesi memberikan ijin kepada pihak Inggris untuk mendirikan kantor dagang. Ulupampang menjadi daerah perdagangan yang sibuk. Agresifitas perdagangan Inggris di Blambangan akhirnya mencemaskan VOC, ditambah keamanan yang kacau di jalur tepi laut Jawa yang menjadi jalan utama perdagangan VOC, mendorong Johanes Vos, gubernur VOC di Semarang mengeluarkan perintah tanggal 12 Agustus 1766 agar mengadakan patroli di Selat Bali dan sekitarnya. Pemerintah Belanda di Batavia memutuskan untuk menangkapi kapal-kapal Inggris dan elemen-elemen lain yang tidak disukai serta mengambil tindakan-tindakan pengamanan terhadap batas-batas wilayah yang dianggap miliknya.[3]
Keadaan di Blambangan yang genting tak terkendalikan menjadikan VOC mengirimkan ekspedisi militer besar-besaran di bawah pimpinan Erdwijn Blanke terdiri atas 335 serdadu Eropa, 3000 laskar Madura dan Pasuruhan, 25 kapal besar dan sejumlah yang kecil lainnya. Tanggal 20 Pebruari 1767, ekspedisi Belanda berkumpul di pelabuhan Kuanyar Madura. Pada tanggal 27 Pebruari 1767 Panarukan diduduki dan didirikan benteng. Pada tanggal 11 Maret pasukan inti di bawah komandan dari Semarang Erdwijn Blanke bergerak melalui darat sepanjang pantai. Tanggal 23 Maret 1767 ekspedisi Belanda tiba di Banyualit. Pertempuran meletus. Ratusan laskar Blambangan pimpinan Gusti Kuta Beda terbunuh. VOC menguasai benteng di Banyualit. Selat Bali mulai dari Meneng sampai Grajagan diblokir.[4]
Mas Anom dan Mas Weka memperoleh kesempatan memberontak terhadap penguasa Bali Gusti Ketut Kabakaba dan Gusti Kuta Beda. Mas Anom memberontak karena pemimpin Bali tersebut menjalankan kekuasaan di Blambangan secara tidak simpatik dan menimbulkan rasa benci rakyat. Orang-orang Bali dibantu orang-orang Bugis dan Mandar melakukan penyerangan terhadap orang-orang Blambangan di bawah pimpinan Mas Anom dan Mas Weka di Logenta yang berakhir dengan kemenangan Mas Anom. Kuta Beda ditawan dan dibunuh. Ketut Kabakaba melarikan diri ke Ulupampang. Ia beserta keluarga dan pengikutnya yang terdesak, melakukan puputan dan akhirnya Kutha Bedhah beserta semua pengikutnya terbunuh. Mas Anom dan Mas Weka diangkat menjadi regen (bupati) pertama di Blambangan. Namun tidak berapa lama ia membelot dan mendukung perjuangan Wong Agung Wilis. Wong Agung Wilis terlibat peperangan di Ulupampang, benteng VOC di Banyualit, namun akhirnya ia kalah di Kuta Lateng pada tanggal 18 Mei 1768.[5]
Setelah Blambangan dikuasai, VOC mengangkat Suta Nagara dengan patih Sura Teruna dan Wangsengsari dengan patih Jaksanegara sebagai regen. Untuk memutuskan hubungan dengan Bali, bupati “dwitunggal” itu diajak memeluk agama Islam. Taktik VOC soal agama ini tidak berpengaruh apa-apa terhadap orang Blambangan. Mereka tidak menaruh perhatian agama apa yang dipeluk pemimpin. Yang mereka inginkan hanya hidup merdeka tanpa dirampas oleh orang-orang asing. Mereka memang anti Jawa, ingatan tentang pengrusakan atas negeri mereka, atas kekejaman yang diperlakukan atas mereka dan atas pengiriman-pengiriman orang-orang Blamba-ngan oleh raja-raja Jawa, masih dalam ingatan mereka yang membeku menjadi rasa benci.[6] Sikap ini di kemudian hari terbukti saat orang-orang Blambangan menolak keras pengangkatan Kertawijaya, patih Surabaya menjadi bupati Blambangan.
Mayor Colmond menggantikan Coop a Groen, sebagai komandan tertinggi pasukan VOC Belanda di Blambangan. Ia adalah sosok penjajah yang berwatak keras. Tindakan-tindakannya yang keras terhadap penduduk menyebabkan kesengsaraan di mana-mana. Rakyat hidup tertekan baik secara sosial maupun ekonomi. Untuk keperluan Belanda ia berpatroli ke pelosok-pelosok kampung untuk menyita semua beras simpanan dan hasil panen, serta bahan makanan lainnya dan mengangkutnya. Dan apabila tidak dapat diangkut, dia menyuruh membakarnya. Kemudian dia menyuruh rakyat menanam padi kembali dengan perintah yang sangat memaksa. Setelah panen, jerih payah penduduk itupun disita lagi.[7] Selain itu Colmond menekan penduduk untuk kerja paksa membangun dan memperkuat benteng VOC di Ulupampang dan Kota Lateng. Memerintahkan mereka membuat jalan-jalan, membersihkan pepohonan yang ada di antara laut dan benteng di Ulupampang. Membuat penangkis air dalam membangun pos pengintaian di Gunung Ikan (yaitu jazirah yang menutupi Teluk Pangpang). Tetapi ia tidak menyediakan makanan bagi rakyat yang bekerja dengan kelaparan dan kekurangan dan kesengsaraan penyakit. Kelaparan, serba kekurangan, penyakit, jumlah kematian yang tinggi, pelarian ke hutan adalah akibat dari tindakan-tindakan tersebut.[8] Keadaan inilah yang menyebabkan bupati Suta Nagara dan Wangsengsari serta Patih Sura Teruna mengajak Gusti Agung Menguwi untuk menyerang Kompeni. Sebelum penyerangan terjadi, ketiga orang tersebut dibuang ke Ceylon (Srilangka).[9]
Keadaan tambah parah ketika penetrasi VOC semakin berat, misalnya setiap bekel (lurah) harus menyerahkan dua ekor kerbau. Selain itu VOC menuntut 3,5 gulden kepada setiap kepala keluarga, dan harus diserahkan setiap tahun. Sesuatu yang sangat berat di tengah sedikitnya waktu untuk pergi ke sawah dan ladang karena kewajiban kerja paksa tanpa upah dan makan.[10]
Tindakan Belanda tersebut menyebabkan munculnya kebencian di mana-mana. Rakyat dalam keadaan sengsara dan kekurangan. Belanda melakukan segala hal untuk tindakan penjajahannya baik secara ekonomi, sosial maupun politik. Termasuk tindakan yang diambil kepada Suta Negara dan Wangsengsari dan Sura Teruna.
Kedudukan Belanda yang kuat, kemudian membentuk pemerintahan baru di Blambangan dengan bupati Jaksanegara bekas patihnya Wangsengsari, satu-satunya orang yang masih setia kepada Kompeni. Tetapi pengangkatan Jaksanegara ini tidak disukai oleh Gubernur Vos yang menginginkan bupati di Blambangan harus orang yang cakap dan berpengalaman. Blambangan yang merupakan daerah konflik, memerlukan bupati yang mampu mengendalikan rakyat. Maka ditunjuklah Kertawijaya dari Surabaya sebagai bupati di Blambangan.. Namun tidak lama kemudian pergolakan muncul, karena rakyat Blambangan bersikap keras untuk tidak menerima seorang Jawa sebagai bupatinya. Setelah kejadian itu Jaksanegara tetap menjadi bupati tunggal di Blambangan. Ternyata pengangkatan Jaksanegara inipun tidak memuaskan rakyat. Rakyat tidak menyukai pemimpin yang takluk kepada Kompeni. Rakyat menuntut agar Suta Nagara yang dibuang dipulangkan kembali.[11]
Penetrasi VOC yang sedemikian keras mengakibatkan rakyat memilih untuk menyingkir ke hutan. Tempat yang paling banyak menampung pengungsian itu adalah dusun Bayu. Sebuah tempat yang subur di lereng Gunung Raung sebelah barat Songgon dan Derwana. Di Bayu berkumpul para penentang Belanda di bawah pimpinan Mas Rempek yang didukung oleh para guru atau ajar yaitu Bapa Rapa, Bapa Endha dan Bapa Larat. Rakyat yang miskin yang tak punya harapan-harapan lagi, bersatu dalam tekad yang besar melawan Belanda.
B. Pangeran Jagapati Sebagai Sosok Pemimpin Anti Belanda
Karena berbagai peristiwa dan keadaan yang dialami masyarakat itulah Mas Rempek, memutuskan untuk menyingkir ke Bayu. Di Bayu ia memperdalam agama kepada Bapa Rapa. Kemudian ia menyusun kekuatan untuk menyerang dan mengusir VOC Belanda dari Blambangan.[12]
Mas Rempek adalah sosok anti Belanda yang keras. Ia adalah putra Mas Bagus Dalem Wiraguna atau Mas Bagus Puri dari isteri selirnya orang Pakis. Mas Bagus Puri adalah putra Mas Dalem Wiraguna anak Susuhunan Tawang Alun dari jalur selir. Mas Bagus Puri mempunyai putra-putri: Mas Suratman, Mas Alit, Mas Talib, Mas Ayu Nawangsari, Mas Ayu Rahinten, Mas Ayu Patih, dan dari isteri selir: Mas Rempek.[13] Jadi Mas Rempek adalah keturunan Tawang Alun murni dari jalur selir. Karena ia anak dari jalur selir, maka kehidupannya tidak seperti saudara-saudaranya yang lain. Mas Rempek tidak hidup di lingkungan kadipaten. Ia hidup di kalangan masyarakat biasa di luar kadipaten di Pakis selatan Banyuwangi.
Maka ketika Mas Bagus Dalem Wiraguna dan anak-anaknya bersama Danuningrat dibawa ke Mengwi (dan akhirnya hampir semuanya terbunuh) Mas Rempek tidak ikut dibawa ke Bali. Karena ia dianggap tidak penting sebagai anak Mas Bagus Dalem Wiraguna.
Agaknya, karena ia sebagai anak dari selir, menyebabkan kehidupannya berbeda dengan saudara-saudaranya. Tercatat dalam sejarah, tokoh-tokoh dari keturunan selir cenderung memiliki sikap memberontak. Ini bisa dimengerti, karena dalam dirinya ada semacam keinginan untuk menunjukkan keberadaannya untuk dihargai dan diakui. Bisa dimengerti pula misalnya, apabila sikap pemberontakannya itu juga ditujukan kepada saudara-saudaranya.
Di sisi lain sebagai anak seorang selir, ia memiliki kehidupan yang lebih bebas, yang memberinya kesempatan untuk menempa dirinya lebih keras tanpa proteksi dan pemanjaan kebangsawanan. Ia memiliki kesempatan yang luas bergaul dengan masyarakatnya, mengetahui penderitaan dan persoalan masyarakatnya dengan dasar pandang kesadaran jalur keturunan ningratnya.
Sebagai seorang biasa Mas Rempek bekerja sebagai abdi di rumah seseorang yang bernama Bapa Samila, orang yang mempunyai hubungan dekat dengan Jaksanegara, bupati tunjukan Belanda.[14] Karena ia bekerja sebagai abdi yang kesehariannya penuh kerja kasar dan keras, maka bisa digambarkan bahwa Mas Rempek memiliki tubuh yang kuat.
Karena ia orang biasa yang hidup bersama masyarakat, maka jiwanyapun tertempa oleh keadaan di sekitarnya, masyarakat Blambangan yang sengsara. Mas Rempek mengetahui hal-hal yang terjadi di masyarakat, patroli-patroli VOC ke pelosok Blambangan, penyitaan beras dan bahan makanan lainnya, pembakaran-pembakaran bahan makanan yang tidak dapat diangkut. Kesengsaraan rakyat yang disuruh dengan paksa menanami sawah-sawah, namun setelah panen, semuanya disita lagi. Selain itu dia juga melihat rakyat kerja paksa tanpa makanan. Penduduk banyak yang meninggal dan lari ke hutan. Melihat semuanya itu maka, jiwanya menjadi sensitif terhadap semua bentuk kesengsaraan, penindasan dan kesewenang-wenangan.
Sejak remaja Mas Rempek telah tertempa dalam peperangan dan perlawanan terhadap VOC. Ia adalah pengikut dan kader binaan Wong Agung Wilis. Kedekatannya dengan Wong Agung Wilis menjadikan ia sangat anti Belanda. Wataknya sangat keras dan kukuh pada pendiriannya. Saat Suta Nagara dan Wangsengsari bersedia diangkat menjadi bupati, ia memprotes sikap kooperatif tersebut. Karena ia pemberani, sikap protesnya itu ia wujudkan dalam bentuk perlawanan secara terbuka. Ia membunuh seorang mantri pemimpin kota dan lima orang tamtama karena dianggap anteknya Belanda. Suta Nagara, bupati baru, dalam suatu peristiwa ia lukai karena didorong oleh sikap anti Belanda yang keras. Ia juga terlibat dalam suatu gerombolan yang melabrak Letnan Biesheuvel dan para pengawalnya, yang menyebabkan meninggalnya beberapa anggota gerombolan, namun beberapa tamtama pasukan Biesheuvel malah bergabung dengan Mas Rempek.[15]
Mas Rempek ikut berperang bersama Wong Agung Wilis melawan VOC pada tahun 1768. Ia adalah mantri muka Wong Agung Wilis. Maka ia menjadi orang pertama dalam peperangan-peperangan jaman Wong Agung Wilis, baik waktu penyerangan benteng Banyualit, pertempuran di Ulupampang maupun perlawanan mempertahankan Lateng. Setelah Wong Agung Wilis tertangkap, perjuangan melawan VOC terus ia lanjutkan. Pengangkatan Jaksanegara dianggap hanya menjadi alat VOC dan karenanya Mas Rempek tidak membedakannya dengan VOC. Kekecewaannya terhadap penangkapan dan pembuangan Wong Agung Wilis, pengalaman terdesak dan kalah dalam perang serta kejengkelannya terhadap VOC yang sedemikian kuat, mendorongnya pergi ke Bayu. Kepergiannya ke Bayu diperkirakan setelah tanggal 18 Mei 1768, sebab pada waktu Wong Agung Wilis tertangkap para jagabela dan orang-orang dekat Wong Agung Wilis menyingkir ke Bayu. Mas Rempek datang ke Bayu bersama seorang lurah dari Kuta Lateng.[16]
Demikianlah, setelah menetap di Bayu dan didukung oleh para ajar, sosok Mas Rempek menjadi kepercayaan rakyat. Dengan didukung oleh Bapa Rapa, Mas Rempek mengatakan bahwa dalam dirinya bersemayam roh Wong Agung Wilis.[17] Kemasukan roh di sini dapat dimaknai bahwa terdapat kesamaan ide dan perjuangan antara kedua tokoh itu. Dengan cara ini Mas Rempek berusaha menarik rakyat Blambangan ke pihaknya. Pada waktu itu Mas Rempek berjanji akan membebaskan wadwa alit dari semua penyerahan wajib yang dilakukan VOC. Selain itu Mas Rempek berjanji melanjutkan perjuangan Wong Agung Wilis. Maka itulah untuk mendapat legitimasi Mas Rempek menyatakan dirinya kemasukan roh Pangeran Wilis sehingga bentuk pakaian dan tindakannya menyerupai Wong Agung Wilis.[18]
Ketika menyadari bahwa kekuatan senjata yang dimiliki masih terbatas, hanya mempunyai senjata yang sedikit, yakni tombak, lembing, keris serta pedang, sedangkan senapan dan meriam yang dibanggakan waktu itu telah jatuh ke tangan VOC waktu perang Ulupampang, Banyalit dan Lateng, sedang orang Cina dan Bugis yang dulunya bersedia memberikan senjata juga sudah ditangkap pada waktu Ulupampang jatuh, maka dengan cerdik untuk menambah moral dan kepercayaan rakyat, Mas Rempeg berkata kepada pengikutnya bahwa Gusti Allah akan menganugerahkan meriam kepadanya.[19] Jelas sandaran dalam bentuk kepercayaan agama sangat penting dan dimanfaatkan dengan efektif oleh Mas Rempek pada saat-saat genting dalam peperangan.
Maka banyak penduduk Ulupampang dan dari daerah-daerah lain di seluruh Blambangan berbondong-bondong sambil membawa senjata bergabung dengan Mas Rempek di Bayu. Dukungan tidak hanya datang dari rakyat kecil wadwa alit, namun juga datang dari para bekel agung yaitu pembantu regen yang berkedudukan di Kuta Lateng seperti Wiramanggala dan Jagakrasa, serta Lembu Giri dari Tomogoro selain menyatakan bergabung dengan Mas Rempek juga memberikan sejumlah senjata. Datang juga rombongan orang-orang Lateng di bawah pimpinan lurah Manowadi dan Bapa Cele dari Grajagan di pesisir selatan.[20]
Dukungan untuk Mas Rempek juga datang dari para bekel dari 62 desa; 25 desa di bagian barat, 14 desa di wilayah selatan, 9 desa di wilayah timur dan 2 desa di sebelah utara. Kemudian masih datang lagi 12 bekel dari desa lainnya.[21]
Dengan dukungan tersebut Bayu berkembang menjadi suatu kekuatan yang berbahaya. Bayu dibuatnya semacam satu negara, tidak kurang 2000 orang berada di belakang Mas Rempek. Dibangun benteng yang sangat kuat, di depan terdapat pagar yang terbuat dari batang-batang pohon besar yang bagian atasnya dibuat runcing dan batang-batang pohonnya berjajar sangat rapat satu sama lain yang disebut palisada. Di belakang pagar terdapat lubang-lubang perlindungan di dalam tanah. Di dalam benteng, cadangan pangan sangat melimpah serta dilengkapi dengan gamelan beserta pemainnya sebagai lambang kekuasaan dan kekuatan. Perlengkapan perang sudah lengkap untuk memulai peperangan. Atas pengaruhnya yang kuat ia oleh pengikutnya dianugrahi gelar Pangeran Jagapati.[22]
Bayu terletak di barat-laut dari kota Ulupampang di lereng timur Gunung Raung, dekat desa Songgon, kira-kira masih 2 jam (jalan kaki) di atas dusun Derwana. Bekas bangunan tembok yang diketemukan dekat Songgon itu rupanya masih merupakan sisa dari Bayunya Mas Rempek tersebut.[23]
Pengikut Pangeran Jagapati dengan demikian berasal dari seluruh wilayah Blambangan baik di ibukota (nagari) Lateng maupun di luar ibukota (jawikuta). Dukungan yang sangat besar dari luar terutama dari Blambangan sendiri membuat kedudukan Pangeran Jagapati sangat kuat, sehingga mampu menguasai sember daya yang lain. Pangeran Jagapati dapat menguasai daerah penghasil beras di seluruh Blambangan. Lurah Manowadi berhasil menimbun beras yang dihasilkan dari seluruh Blambangan di Tomogoro di sebelah selatan Bayu. Para pedagang yang telah memindahkan pusat kegiatannya ke pantai selatan di Nusa Barung mengirimkan telur, garam dan ikan kering yang diangkut memakai kuda ke Bayu.[24] Dengan demikian penguasaan atas daerah penghasil padi di seluruh Blambangan membuat kedudukan ekonomis Pangeran Jagapati sangat kuat. Dengan dukungan ekonomi yang kuat maka dengan mudah akan membangun kekuatan militer dan cadangan logistik perang. Maka berkobarnya peperangan tinggal menunggu waktu saja.
C. Jalannya Peperangan
Pada tanggal 2 Agustus 1771, Kertawijaya dan Jaksanegara berangkat bersama serombongan pasukan dari Ulupampang menuju Bayu. Kepergian mereka bermaksud memisahkan penduduk Blambangan dari pengaruh Mas Rempek. Setibanya di Bayu orang-orang Blambangan pengikut kedua pemimpin itu justeru membelot dan memihak kepada Pangeran Jagapati. Kedua pemimpin ditinggal pengikutnya dan hanya ditemani beberapa orang yang berasal dari Surabaya, yaitu Mindoko, Bawalaksana dan Semedirono. Kemudian para pembelot mengamuk terhadap para Tumenggung dan pengikutnya yang tinggal beberapa itu. Kertawijaya terluka tembak di bahu kirinya dan kaki kanannya terkena tombak. Mantri Semedirono mati tertembak di kepalanya, yang lainnya terluka. Sementara rakyat Blambangan terus bergerak ke Bayu sambil membawa harta benda yang mereka miliki.[25]
Peristiwa di atas diceritakan dalam Babad Bayu pupuh ii 5-20 sebagai berikut:
Ketika pasukan Kertawijaya dan Jaksanagara tiba di Bayu, Pangeran Jagapati bersama 30 orang pengikutnya menempatkan diri di sebelah menyebelah bagian jalan yang sempit. Jayaleksana memberikan aba-aba menembak, tapi ia dan pasukannya segera terkurung. Meskipun begitu, ia masih juga menuntut supaya Pangeran Jagapati takluk. Kalau mau takluk, orang Bayu akan diampuni dan selamat, mereka tak usah bekerja untuk Kompeni dan akan menerima hadiah sarung pedang dari baja dua warna, dan akan disambut dengan segala penghormatan apabila datang berseba. Tiba-tiba pasukan Jayalaksana kabur masuk hutan, maka para punggawa sendirilah yang harus mengangkut pulang jenazah patih. Gegerlah seluruh kota.[26]
Tanggal 5 Agustus 1771, VOC mengirim pasukan bersenjata menuju ke benteng Bayu. Di luar dugaan VOC pada waktu terjadi pertempuran awal, terdapat sebagian prajurit VOC dari pribumi membelot memihak kepada Pangeran Jagapati. Biesheuvel Residen Blambangan beserta pasukan VOC bergerak menyerang Benteng Bayu. Namun, mereka dikalahkan Pangeran Jagapati karena pertahanan benteng Bayu yang ternyata sangat kuat. Pada waktu yang bersamaan, Schophoff, Wakil Residen Biuscheuvel masuk ke berbagai desa di Blambangan, bermaksud mempengaruhi penduduk untuk tidak memihak Pangeran Jagapati. Pada hari yang sama pasukan VOC menyerang Gambiran, sebuah dusun penghasil beras yang sangat subur yang menjadi salah satu penyangga logistik beras benteng Bayu. Tujuannya agar Pangeran Jagapati yang berkedudukan di Bayu kekurangan bahan makanan. Namun, ketika ia beserta pasukannya berada di Desa Gambiran, mereka diserang oleh sekitar 200 pasukan Blambangan sambil meneriakkan kata-kata: “Amok! Amok!”. Pasukan VOC kemudian menuju Tomogoro yang terletak sekitar 6 km di sebelah tenggara Bayu merupakan penghasil beras yang paling dekat dengan Bayu dan Tomogoro merupakan tempat yang sangat penting bagi Pangeran Jagapati. Selain itu Tomogoro juga menjadi tempat menimbun semua persediaan yang diperlukan sebelum diangkut ke Bayu.[27]
Melihat posisi Tomogoro yang strategis, VOC mendirikan kubu pertahanan dengan maksud untuk memudahkan penyerangan ke Bayu. Rakyat Blambangan yang mengetahui aktivitas VOC berusaha menghindarinya serta membawa semua perbekalan ke Bayu bergabung dengan Pangeran Jagapati. Sementara di sepanjang jalan menuju Bayu yang menanjak dan licin, Pangeran Jagapati memerintahkan pejuang Bayu untuk menebangi pohon agar menutup jalan sehingga tidak bisa dilewati. Pasukan VOC yang sudah kelelahan dalam menempuh perjalanan yang sulit dan kehabisan perbekalan terpaksa mengehentikan penyerangan dan mundur ke Ulupampang.[28]
Keadaan yang mengkhawatirkan memaksa Biesheuvel minta dikirim 300 pasukan pribumi dari Jawa Timur dan satu pasukan tentara Eropa berkekuatan 40 prajurit.
Di Bayu Pangeran Jagapati membicarakan tentang pasukan-pasukan Kompeni yang terpaksa berhenti di tengah jalan, mundur ke Ulupampang. Kemudian Pangeran Jagapati menyusun strategi perang dengan membagi pasukan menjadi dua sayap. Sayap kiri yang terdiri dari 3.000 orang diserahkan kepada Keboundha, sayap kanan dipercayakan kepada Kidangsalendhit. Kedua pemimpin pasukan ini ingin membalas kekalahan yang telah dialami di Gegenting (Gambiran dan Tomogoro).[29]
Pada tanggal 22 September 1771 malam pukul 20.00 WIB, Biesheuvel Residen Blambangan menerima laporan dari Sersan Rood yang membawa berita dari Letnan Imhoff komandan VOC di Kuta Lateng yang menyatakan bahwa pagi hari, 22 September 1771, kereta VOC telah mulai bergerak maju dalam medan perang yang memuat berbagai keperluan untuk menyerang Bayu. Misi pasukan VOC itu adalah mengusir pejuang Blambangan dan memusnahkan semua yang ada. Pasukan VOC telah masuk dalam kubu pertahanan bagian luar pejuang Bayu dengan pasukan pribumi di depan, sehingga keselamatan pasukan orang Eropa VOC terjamin. Namun ternyata dukungan orang-orang prajurit pribumi tidak dapat diharapkan. VOC menambah pasukan Eropa untuk melindungi penyerangan. Yang terjadi malah pasukan pribumi VOC mengelompokkan dirinya menjadi 2 kelompok. Satu pihak berdiri di sebelah kiri pasukan VOC, sedang kelompok satunya lagi di sebelah kanan. Tiba-tiba mereka berlari-lari bersamaan masuk ke dalam hutan dan menghilang. Pimpinan pasukan VOC memanggil-manggil dan mengancam pasukannya yang masuk ke hutan itu namun tak dihiraukannya. Dengan begitu pasukan VOC ditinggal begitu saja oleh pasukan pribumi. Akibat larinya pasukan pribumi, maka serdadu VOC asal Eropa saja yang terlibat perang dalam 3 jam terus menerus. Sampai-sampai semua peluru, termasuk persediaan yang terakhir dikeluarkan dari peti penyimpanannya untuk dibagikan. Juga amunisi untuk senjata berat, semuanya telah terpakai habis untuk menembak. Banyak serdadu Eropa yang tewas dan terluka. Diantaranya yang terluka adalah Letnan Imhoff setelah 2 jam dihujani tembakan terus menerus oleh pejuang Blambangan dari tempat persembunyiannya. VOC terpaksa meninggalkan semua perlengkapannya termasuk sebuah kanon berukuran satu pon dan dua buah mortir. Tukang pikul perbekalan semua mati.[30]
Hari itu juga, 22 September 1771 dilakukan penghitungan berapa sisa pasukan VOC asal pribumi. Oleh para pemimpinnya dilaporkan bahwa 13 orang tewas yang terdiri dari 5 komandan dan 8 tamtama, 94 orang terluka tembakan kena duri karena tatkala mundur mereka tergesa-gesa. Sisanya 87 orang luka kena sungga (ranjau/sunggrak). Datang kapal dari Pasuruan dengan mengangkut beras. [31]
Biesheuvel mengirim surat pada atasannya di Surabaya tertanggal Ulupangpang, 22 September 1771 guna memohon bantuan militer sebanyak 1000 laskar Sumenep dengan 150 serdadu Belanda. Juga diminta sepuluh peti peluru karena empat peti sebelumnya telah habis dalam penyerangan yang gagal. Pasukan ekspedisi bantuan itu direncanakan untuk merusak segala jenis makanan di daerah Bayu. Karena tidak ada cara lain bagi VOC selain mengadakan aksi yang membuat orang Bayu kelaparan dan kekurangan.[32]
Babad Bayu menceritakan peristiwa di atas sebagai berikut:
Berkecamuklah perang. Tanda pertempuran dibunyikan dengan tambur, beri, kendang dan gong. Jayasengara, adipati Bangil maju berkuda, diikuti yang lain. Pasukan Kompeni membentuk segi empat. Bunyi bedil, meriam dan tiktak (meriam kecil) mereka memekakkan telinga. Udara gelap karena asapnya. Jayasengara berpendapat, mustahil orang Bayu menang. Jayasengara kena peluru meskipun kebal dan berlindung di belakang sebuah pohon. Ia melihat Kompeni kehilangan banyak prajurit, ada yang luka banyak yang mati. Dan hilanglah harapannya untuk menang. Di pihak Belanda hanya kumendanlah yang masih hidup. Orang Surabaya, apalabi orang Bangil, mendapat kekalahan dan lari tunggang-langgang, disoraki orang Bayu. Komandan Kompeni terluka perutnya oleh peluru Keboundha. Kudanya dicambuknya sehingga lari terus sampai Ulupampang. Patih Jatasengara yang paling akhir pulang meninggalkan medan perang, menyusuri kali. Orang Bayu yang mabuk kejayaan mengejar musuh di jalan-jalan sampai Gegenting, bahkan sampai Cendhana. Maka orang Bayu pulang sambil menembang atau meniru suara gamelan dan menandak.[33]
Ketika bala bantuan datang untuk VOC, bersamaan dengan itu Pangeran Jagapati mendapatkan bantuan 300 orang dari Bali lengkap dengan senjata dan bahan makanan, dan berhasil mengepung benteng VOC di Kuta Lateng. Jalan-jalan ke Panarukan oleh para pejuang Bayu dijaga dengan ketat dan diberi penghalang-penghalang dari kayu gelondongan, jembatan-jembatan dirusak untuk mempersulit tranportasi pasukan dan perbekalan VOC. Penyerbuan Pangeran Jagapati ke Lateng ini mampu menangkap dan menawan banyak serdadu VOC dan merebut sepeti misiu dan 1200 peluru serta senjata.[34]
VOC mengerahkan seluruh kekuatannya dengan mendatangkan bantuan tentara dari garnisum-garnisum Batavia, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya dan Pasuruhan dengan pasukan “Dragonders” dari Semarang sebagai pasukan inti.[35]
Karena kekalahan yang ditimbulkan oleh Pangeran Jagapati dan para pejuang Bayu itu maka memaksa Gubernur vander Burgh mengirim surat ke Pieter Luzac, agar penduduk Senthong (dekat Bondowoso) dicegah berhubungan dengan penduduk Blambangan dan Lumajang. Juga agar dilakukan penelitian sebab-sebab kekalahan serdadu VOC.[36]
Biesheuvel pada bulan November 1771 meninggal ia digantikan oleh wakilnya, Hendrik Schophoff. Pada bulan itu, bantuan tentara VOC tiba di Ulupampang di bawah komando Kapten Reygers dan Heinrich. Pasukan VOC berhasil mengalahkan para pejuang Blambangan di Kuta Lateng. Sedangkan kapten Reygers berhasil menghancurkan gudang persediaan makan di Banjar (Kecamatan Glagah), menguasai Grajagan di Pantai Selatan dan membakar sekitar 300 koyan beras (1 koyan sekitar 185 kg = 55,5 ton). Pada waktu yang bersamaan VOC mengeluarkan surat-surat pengampunan bagi penduduk yang mau meninggalkan Bayu.[37]
Kapten Reygers setelah berhasil mendesak para pejuang Blambangan di Kuta Lateng, pada tanggal 13 Desember 1771 beserta pasukannya berangkat menyerang benteng Bayu. Pengalaman pahit VOC menyerang Bayu dari arah selatan, memaksa VOC menyerang Bayu dari arah utara, yaitu Songgon. Keesokan harinya 14 Desember 1771 Reygers memerintahkan penyerangan dengan kekuatan 2000 laskar Madura di bawah pimpinan Alapalap, sebagai laskar terdepan. Di belakangnya dilapisi oleh serdadu Eropa yang dilengkapi dengan meriam yang dipimpin oleh Sersan Mayor van Schaar. Barisan belakang menggempur Bayu sebelum Alapalap bergerak maju. Mendengar penyerbuan VOC dari arah utara, dengan gerak cepat Pangeran Jagapati memimpin sendiri penyerangan ke Songgon pada tanggal 15 Desember 1771, bersama 1000 orang jagabela yang bersenjatakan keris, pedang dan tombak. Kekuatan jagabela yang di Bayu dikerahkan menyerang Songgon.[38]
Taktik perang pejuang Bayu yang terencana matang dan menguasai medan, menyebabkan pasukan VOC yang menyerang dari dua arah, yakni Susukan dan Songgon, telah terjebak dan disergap oleh pasukan Bayu dan dihancurkan sama sekali. Kapten Reygers terluka parah di kepalanya dan kemudian ia meninggal di Ulupampang. Puncak penyerangan para pejuang Blambangan terjadi pada tanggal 18 Desember 1771. Dalam peristiwa itu para pejuang Blambangan melakukan serangan umum dan mendadak terhadap serdadu VOC. Belanda sendiri menyatakannya sebagai “de dramatische vernietiging van Compagniesleger”. Prajurit Blambangan di bawah pimpinan Pangeran Jagapati maju ke medan tempur dengan membawa senjata golok, keris, pedang, tombak, dan senjata api yang diperoleh sebagai rampasan dari tentara VOC. Serangan pejuang Bayu yang mendadak, membuat pasukan VOC terdesak. Demikian juga pasukan Eropa VOC yang berada di belakang. Ketika posisinya terus terdesak, mereka mundur dan lari meninggalkan semua perlengkapan perang. Pejuang Bayu mengejar pasukan VOC. Saat itulah pasukan VOC banyak yang terjebak dalam jebakan yang dinamakan sungga (parit yang di dalamnya dipenuhi sunggrak) yang telah dibuat oleh pejuang Bayu. Pasukan VOC yang terjebak dan dihujam dari atas. Sersan Mayor van Schaar, komandan pasukan VOC, Letnan Kornet Tinne dan ratusan serdadu Eropa lainnya yang tewas dalam perang itu. Dari serdadu yang tersisa yang sempat melarikan diri, jumlahnya tidak seberapa, umumnya dalam keadaan terluka dan sakit. Namun demikian, di pihak Blambangan harus membayar mahal dengan kehilangan pemimpinnya. Pangeran Jagapati gugur karena luka-lukanya sehari berikutnya yakni tanggal 19 Desember 1771. Sebagai ungkapan balas dendam atas gugurnya Pangeran Jagapati, beberapa jagabela mencincang mayat van Schaar.[39]
Peristiwa ini dikisahkan dalam Babad Tawang Alun xi.5-21, sebagai berikut:
Pangeran Jagapati bertempur melawan Alap-alap dari Madura. Keduanya tak terkalahkan. Lalu ketahuan oleh Pangeran Jagapati bahwa Alap-alap memakai baju zirah. Maka dengan lembing pusakanya, Si Kelabang, dari jenis biring lanangan, ditusuknya Alapalap dari bawah. Dan Alap-alap roboh tetapi masih sempat melukai Pangeran Jagapati. Alap-alap diusung ke perkemahan, lalu meninggal. Jagapati yang luka parah dibawa ke benteng. Dengan luka parah Pangeran Jagapati masih mampu mengatur strategi peperangan dengan menunjuk Jagalara dan Sayu Wiwit sebagai wakilnya untuk melanjutkan peperangan. Keesokan harinya pertempuran dilanjutkan diiringi suara kendang, gong, beri dan tambur dan berlangsung sampai malam tiba. Setelah kembali ke benteng para prajurit Bayu mengetahui bahwa Pangeran Jagapati telah meninggal. Babad Tawang Alun xii.1-2 melanjutkan: Pangeran Sumenep dan Panembahan Bangkalan sangat marah karena kematian Alap-alap. Pasukan Madura dan Kompeni bertempur lagi dan kehilangan 2.000 orang sebagai akibat amukan orang Bayu.[40]
Pada tanggal 20 Desember 1771 pasukan VOC turun kembali ke Kuta Lateng. Orang Eropa yang masih tersisa juga ikut turun, diantaranya Sersan Mayor Ostrousky yang terluka berat. Sebagian terbesar dari mereka sudah tidak bersenjata lagi. Mereka dalam keadaan sangat lelah, letih. Mereka berjalan berkelompok-kelompok kembali ke Kuta Lateng. Mereka menumpahkan kesalahan atas kekalahannya pada diri Sersan Mayor van Schaar yang bersikap pengecut. Ia dipersalahkan karena setalah menembak pejuang Bayu sekali saja, terus melemparkan senjatanya dan melarikan diri pertama kali. Kerugian di pihak VOC prajurit yang gugur dan hilang adalah : Sersan Mayor van Schaar, Peltu kornet Tinne, 41 prajurit Infanteri, 15 prajurit korps khusus Dragonders, para bintara dan tamtama, 1 prajurit arteleri dan sejumlah besar laskar pribumi. [41]
JR Vander Burgh, gubernur VOC urusan pantai timur Jawa pada 13 Januari 1772 di Semarang mengirim laporan pada atasannya, bahwa setelah penyerangan ke Bayu mengalami kekalahan pada 20 Desember 1771, maka banyak anggota pasukan pribumi yang melarikan diri. Bahkan pada 31 Desember 1771 terdapat 300 laskar Madura secara bersama melewati Panarukan kembali ke daerah mereka di Sumenep Madura.[42]
Babad Bayu xvi 1-13 menceritakan:
Bambang Sutama dan Jayareca membawa pasukannya ke Panarukan lewat Watu Dodol, Bajulmati dan Banyuputih. Mereka terpaksa mengaku kepada komandan VOC di Panarukan bahwa Bayu belum jatuh, karena orang Bayu terlalu kuat. Dan bahwa Guntur Geni mati, begitu juga semua orang Belanda. Komandan itu hampir tidak percaya. Rupanya, siapapun yang menaklukkan Bayu tidak akan kembali hidup. Bambang Sutama dan Jayareca minta diri pada komandan VOC, pertama pulang ke Sumenep. Di sini penduduknya keheranan melihat mereka kembali dalam keadaan selamat. Bupati Semenep ingin tahu mengapa dia dan Sutadipa masih hidup. Kedua orang itu menundukkan kepala rendah-rendah, malu takut dapat murka tuan mereka. Adapun Bambang Sutama pergi ke Surabaya untuk menyerahkan surat CVD Biesheuvel, penguasa di Ulu Pampang pada penguasa di Surabaya, Pieter van Luzac. Selanjutnya pulang ke Madura atas izin penguasa VOC itu.[43]
Kekuatan pasukan VOC telah berkurang, membuat VOC menghentikan peperangan. Kemudian para penguasa VOC mengambil sikap berhati-hati dan mendorong pasukannya untuk menggunakan cara-cara lain untuk menangkis serangan yang mendadak demi menyelamatkan bengsanya. Karena itu selama musim hujan, sebagian terbesar pasukan VOC bersikap defensif saja. Pasukan Eropa ditempatkan pada pertahanan di Ulupampang dan Kuta Lateng saja, yang dipandang tempatnya paling sehat.
Sementara itu laskar Madura, Sumenep dan Pamekasan bersama 2 kompi orang pribumi lainnya, pembentukan dan persiapannya sedang diproses. Tatkala itu 118 orang sedang dalam perjalanan ke Blambangan. Mereka ditempatkan di Ulupampang, Kuta Lateng, dan ditempatkan diberbagai benteng yang ada, dan dijalur-jalur jalan ke arah Bayu. Tujuannya adalah untuk menghalangi dan menghentikan penyaluran bahan makanan ke pusat pertahanan Bayu. Segala jenis bahan makanan yang sekiranya dapat digunakan oleh para pejuang Bayu, agar segera dimusnahkan. VOC memerintahkan untuk membunuh siapapun yang mencoba menghalangi-halangi rencananya.[44]
Dengan kemenangan yang dicapai oleh para pejuang Bayu, penguasa VOC mengatur kembali strateginya. Karena itu, maka penguasa VOC telah memperbaharui rekomendasi kedudukannya di darat. Diadakannya patroli di laut dan di sepanjang pantai Blambangan, khususnya disekitar Meneng dan Grajagan untuk menghalangi hubungan Pejuang Bayu dengan oarang Bali. Kemudian VOC mengadakan patroli dengan ketat terhadap segala jenis kapal dan perahu melewati Selat Bali.[45]
Akibat perang selama bulan Desember VOC banyak kehilangan sejumlah pejabat dan perwira militer yang tewas. Karena banyak kehilangan perwira dan prajurit, VOC menjadi depensif dan menarik semua pasukannya ke Kuta Lateng dan Ulupampang. VOC yang mengalami kekalahan besar membutuhkan waktu setahun untuk memulihkan kekuatannya. Dengan kenyataan benteng Bayu yang sangat kuat, VOC harus mempersiapkan pasukan yang lebih besar untuk mengalahkan laskar Blambangan. Untuk keperluan itu VOC mengadakan panggilan umum kepada semua bupati dan penguasa taklukan Belanda untuk mendatangkan bala bantuan. Semua tentara Eropa dari semua garnisum dikonsinyasikan di Blambangan. Kemudian 2000 pasukan Madura segera dikirim ke Jawa. Pada bulan Agustus 1772 Heinrich tiba di Blambangan dengan 5.000 prajurit. Heinrich menjadi komandan dan dibantu residen Schophoff dari Ulupampang. Sedangkan Van der Burgh, Gubernur Jawa Bagian Timur, secara pribadi datang sendiri ke Blambangan.[46]
Pada 1 Oktober 1772, setelah hampir satu tahun gagal menyerang Bayu, VOC mengadakan penyerangan lagi ke Bayu. Songgon yang tidak diduduki sisa pengikut Pangeran Jagapati kembali dijadikan benteng pertahanan untuk menyerang Bayu. Kapten Heinrich beserta pasukan Expedisi V bergerak dari kota Ulupampang. Pada 5 Oktober 1772, pagi hari pasukan VOC itu telah berkemah di Sontong. Untuk menghindari sungga Kapten Heinrich memerintahkan bawahannya membuat jalan dengan cara menumbangkan pepohanan hutan. Kemudian pada Peltu Mirop dan Peltu Dijkman ditempatkan satu pasukan sebanyak 900 orang untuk menguasai daerah ketinggian sebelah kanan dari benteng Bayu, dengan dipersenjatai meriam. Sedang Vaandrig Guttenburger dan Koegel, ditempatkan di Sontong. Kemudian Kapten Heinrich dengan 1.500 orang berikut Vaandrig Ienigen di Sentum berjaga-jaga di posisi antara ketinggian yang saling dapat berhubungan melalui satu jurang yang menganga di antaranya. Benteng Bayu terkepung secara ketat.
Dari tanggal 5 sampai 11 Oktober 1772 itu Kapten Heinrich mengadakan konsolidasi dengan elemen-elemen militer lainnya. Pada tanggal 10 Oktober 1772, Letnan Imdeken meyakinkan Kapten Heinrich bahwa Kapten Heinrich dapat menerobos, sehingga Kapten itu mengadakan perundingan. Kapten Heinrich memutuskan untuk mulai melakukan penerobosan.
Pada 11 Oktober 1772 pagi hari, VOC mengerahkan semua kekuatannya menggempur Bayu dengan tembakan-tembakan meriam. Tetapi selama dua bulan Bapa Endha dapat bertahan bersama 1000 orang pengikutnya yang setia. Pengiriman perbekalan di pihak VOC cukup lancar karena jalan dari Ulupampang menuju Songgon bebas dari halangan pejuang Bayu. Sekitar bulan Desember 1772 Bapa Endha dan pejuang Bayu mengalami kekurangan perbekalan karena bahan makanan yang ada ternyata tak mampu mencukupi kebutuhan semua laskar yang ditarik dan dipusatkan ke Bayu. Bayu sudah sulit dipertahankan lagi. Namun mereka masih mengadakan perlawanan sekuatnya. Vaandrig Mierop sesuai dengan perintah komandannya, membuat alarm tipuan pada sayap kanan dengan membuat api untuk memancing membagi kekuatan musuh supaya tepat didepan dan di sayap kiri Kapten Heinrich. Kemudian Kapten Heinrich dengan kekuatan intinya 1.500 pasukannya menerobos dan menyerang benteng Bayu dari sayap kiri tepat pukul 08.00. Benteng Bayu yang amat kuat akhirnya dapat direbut pasukan VOC. Setelah benteng Bayu dapat direbut VOC merusak dan membakarnya.
Pasukan Kapten Heinrich mendapat rampasan beberapa jenis senjata berupa 1 meriam dan 3 mortir ukuran 4 dim milik pejuang Bayu. Para prajurit pribumi VOC mendapat rampasan 100 pucuk senjata berlaras panjang dan 200 kuda serta masih banyak lainnya dari dalam benteng Bayu.
Para pejuang Bayu telah meloloskan diri ke daerah pegunungan. Kapten Heinrich telah memerintahkan mengejar mereka sampai malam hari. Semua milik para pejuang Bayu agar diambil. Pada pagi hari keesokannya juga dilakukan pengejaran dengan patroli yang kuat. Ternyata memerlukan perjalanan sehari penuh ke pegunungan.
Kapten Heinrich menyuruh bawahannya untuk membunuh para tawanan pria dan memotong kepalanya. kemudian kepala mereka yang terpotong digantung di pepohanan yang tinggi untuk membuat pejuang Bayu lainnya takut. Pengejaran terhadap musuh masih terus dilakukan bagi pejuang Bayu lainnya. Atas perintah dari Residen Schophoff, VOC di Bayu turun tanggal 24 Oktober 1772.[47]
Babad Bayu menceritakan penyerbuan ini sebagai berikut:
Panembahan Madura sanggup memenuhi permintaan VOC Surabaya sebanyak 10.000 orang Madura. Laskar ini dipimpin oleh Suradiwira. Pasukan Madura barat ini berlayar dan berlabuh di Panarukan disambut oleh pasukan VOC. Madura timur di Sumenep telah menyiapkan 3.000 orang laskarnya yang dipimpin langsung oleh Pulangjiwa. Mereka ini berangkat dari pantai Pamaringan menuju Purwasari di Pantai Jawa. Semuanya bertemu di Panarukan. Esok harinya barisan maju seperti badai. Bermalam di Bajulmati, malam berikutnya sampailah mereka di kota Ulupampang.
memerintahkan pasukannya untuk membuat benteng bergerak dan setiap mantri diberi tunggul bambu sebagai pertahanan. Orang Madura mulai menembak lagi, namun pelurunya jauh dari sasaran. Laskar Bayu membalasnya, setiap pelurunya menewaskan orang Madura yang disasar. Suradiwira marahnya tak alang-kepalang. Laskarnya diperintahkan supaya menyerang namun terhalang sungga dan suda. Pulangjiwa dipukul mundur.
Pulangjiwa dan VOC telah menyelesaikan pertahanan mereka. Satu untuk setiap mantri, dan satu benteng bergerak untuk pasukan. Suara gong, gendhang, tambur, dan biring bergema di langit ditambah sorak sorai laskar Madura. Pasukan VOC maju dibelakang pertahanan mereka yang anti tembus peluru. Medan perang dekat benteng Bayu sudah bersih dari sungga dan suda, sehingga VOC dapat membawa meriam-meriam mendekati benteng Bayu. Dengan dilindungi tembakan meriam, laskar Sumenep dan VOC berhasil memasuki beteng Bayu. Atas perintah VOC, rumah-rumah Bayu dibakar habis. Benteng Bayu diratakan dengan tanah..[48]
Sedangkan Babad Tawang Alun memberikan gambaran peristiwa ini sebagai berikut:
Pangeran Sumenep sangat marah mendengar kematian Tumenggung (Alap-alap)nya dalam perang Bayu pertama. Demikian pula Panembahan Bangkalan juga sangat marah. Karena itu, beliau segera mengerahkan balatentaranya. Baik VOC maupun Madura maju perang ke Bayu. Kedua pihak saling menombak dan saling menembak. Mengamuklah para pejuang Bayu, sehingga balatentara VOC banyak yang mati. Kemudian datang lagi 2.000 bala bantuan musuh. Pejuang Bayu kalah dalam perang. Banyak pejuangnya yang gugur. Lamanya perang Bayu itu selama 2 tahun. Maka takluklah Bayu. Banyak rakyat kecil yang mati, yang tersisa menyelamatkan diri, mengungsi kehutan belantara atau ke dalam jurang di hutan pegunungan, sedang yang tertangkap, segera diangkut. Banyak yang diangkut ke daerah Ulupampang. Selanjutnya dibawa ke barat, terutama para tokohnya dibuang ke Selong.[49]
Pemimpin Blambangan banyak yang menyingkir ke Nusa Barung. Schophoff menyuruh mengirimkan 264 orang Blambangan ke Surabaya baik pria, wanita dan anak-anak. Sampai tanggal 7 Nopember 1772 sudah 2.505 orang pria dan wanita yang tertangkap. Schophoff memerintahkan untuk menenggelamkan tahanan laki-laki yang dituduh telah memakan daging mayat van Schaar. Orang Madura telah merebut para wanita dan anak-anak Blambangan sebagai hasil rampasan perang. Sebagian dari mereka telah melarikan diri ke dalam hutan, telah meninggal karena kelaparan dan kesengsaraan yang mereka alami. Sehingga bau mayat-mayat yang membusuk, menggangu sampai jarak yang jauh. Mereka yang masih hidup menetap di hutan-hutan, membuka perladangan baru di Pucangkerep, Kaliagung, Petang dan lain-lain. Mereka tetap bersikeras untuk melepaskan diri dari penjajahan VOC.[50]
Itulah akhir dari Perang Bayu yang mengerikan, yang telah merenggut ribuan kurban, baik di pihak musuh, terutama dipihak rakyat Blambangan.
Perlawanan-perlawanan setelah Perang Bayu
Perang Bayu memang berakhir pada tanggal 11 Oktober 1772, namun perlawanan rakyat dalam bentuk pemberontakan-pemberontakan lokal masih terjadi di berbagai daerah di Blambangan sampai sepuluh tahun kemudian. Pemberontakan-pemberontakan itu antara lain: Pemberontakan yang terjadi di Gendoh yang dipimpin oleh Hanggapati. Pemberontakan yang dipimpin oleh Ki Mus Aceh. Pemberontakan yang dipimpin oleh Pangeran Singo pada tahun 1781 dan sisa-sisa laskar Bayu yang hidupnya masih berpindah-pindah. Pemberontakan yang dipimpin oleh Mas Sekar pada tahun 1797 yang bermaskud membunuh semua orang Belanda yang ada di Blambangan. Untuk menghadapi pemberontakan ini Belanda harus mendatangkan lagi bantuan beberapa kompi tentaranya dari Surabaya dan Semarang. Pemberontakan ini gagal, Mas Sekar tertangkap dan para pengikutnya banyak yang disiksa dan dibuang ke Semarang. Pemberontakan yang dipimpin oleh Berengos Perada pada tahun 1800, yang berpusat di Rajekwesi.[51]
Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh Perang Bayu sangat kuat terhadap patriotisme rakyat Blambangan dalam jangka waktu yang lama. Pangeran Jagapati sudah meninggal, namun rakyat Blambangan terus melanjutkan perjuangan.
D. Akibat-Akibat Perang Bayu
Dari uraian di atas, ternyata bahwa perang Bayu adalah perang semesta rakyat. Perang yang berawal dari dukuh kecil yang menggemparkan Belanda. C. Lekkerkerker mengatakan: perang Bayu merupakan perang yang membutuhkan lebih banyak ketegangan dan jumlah jiwa manusia dibanding perang-perang lainnya yang telah pernah dilakukan oleh Kompeni.
Wikkerman (residen di Blambangan pada tahun 1800-1818) melaporkan bahwa sensus penduduk pertama setelah berdirinya kabupaten Banyuwangi jumlah penduduk belum mencapai 300 keluarga.[52]
Akibat perang yang menelan korban sekitar 60 ribu orang, penduduk Blambangan hanya tersisa sekitar 5 ribu jiwa.[53] Hampir habisnya penduduk Blambangan akibat perang, pihak VOC mendatangkan tenaga kerja dari luar Blambangan untuk mengolah tanah-tanah pertanian yang kosong. Mereka ditempatkan di rumah penduduk yang kosong yang ditinggalkan ketika perang.[54] Akibat kedatangan berbagai macam penduduk dari luar Blambangan, menjadikan Blambangan berpenduduk sangat majemuk.
Akibat perang, VOC banyak kehilangan sejumlah pejabat dan perwira militernya. Mereka itu adalah Residen Cornelis van Biesheuvel, Sersan Mayor van Schaar, Letnan Kornet Tine, Vandrig Ostrousley, Kapten Reygers, dan ratusan pasukan Eropa. Sebanyak 10 ribu pasukan yang didatangkan oleh VOC dari berbagai daerah untuk menggempur Blambangan banyak yang tewas.[55]
VOC juga mengeluarkan kebijakan untuk menarik simpati agar orang-orang yang kembali ke Blambangan diberikan hadiah 2,5 rijksdalder ( sekitar 6 gulden). Pada tahun 1773 sebanyak 12 keluarga berhasil diboyong dari Surabaya ke Banyuwangi, sedangkan sebelumnya sebanyak 285 orang telah menetap di Blambangan karena motif untuk mendapatkan hadiah uang. VOC juga membebaskan penarikan pajak selama 15 tahun. Baru pada tahun 1786, VOC bisa menerima 9600 pikul beras, persewaan tempat-tempat sarang burung walet, ikan, teripang, serta kulit mutiara.[56]
DAFTAR PUSTAKA
[1] Neil J. Smelser, Theory of Colective Behavior, Routledge&Keagan Paul, London, 1962, hal. 163.
[2] J.K.J. de Jonge, De Opkomst Van Het Nederlansch Gesag Over Java-XI, ML van Deventer, 1883, hal. 1. C. C. Lekkerkerker, Balambangan, Indische Gids II, 1932, hal.1045.
[3] I Made Sudjana, Nagari Tawon Madu, Larasan-Sejarah, Kuta-Bali, 2001, hal. 61-63.
[4] J.K.J. de Jonge, op.cit., hal. v-vi. I Made Sudjana, op.cit., hal. 63.
[5] I Made Sudjana, ibid., hal. 63-65. C. Lekkerkerker, op.cit., hal. 1048-1052.
[6] C. Lekkerkerker, ibid., hal. 1053-1054.
[7] JKJ de Jonge, op.cit., hal. 17. C. Lekkerkerker, op.cit., hal. 1054.
[8] J.K.J. de Jonge, op.cit., hal. 140. C. Lekkerkerker, op.cit., hal 1055.
[9] C. Lekkerkerker, Ibid, hal. 1054.
[10] I made Sudjana, op.cit., hal. 67.
[11] C. Lekkerkerker, op.cit., hal. 1055.
[12] I Made Sudjana, op.cit., hal 68.
[13] Babad Tawang Alun (ditulis pada tahun 1826) dalam Winarsih PA, Babad Blambangan, Bentang, Yogyakarta, 1995, hal. 113, lihat juga Lampiran I. Tempat kediaman (Dalem) Mas Bagus Puri menurut dokumen Belanda terletak di sekitar dusun Pakis, yaitu dusun di selatan Banyuwangi sekarang. I Made Sudjana, op.cit., hal.42. Dengan demikian Pakis Banyuwangi adalah tempat kelahiran Mas Rempek.
[14] C. Lekkerkerker, op.cit., hal. 1056.
[15] J.K.J. de Jonge, op.cit., hal. 200.
[16] I Made Sudjana, op.cit., hal. 68.
[17] Babad Tawang Alun, ix-2-4 dalam Winarsih PA, op.cit., hal. 89.
[18] I Made Sudjana, op.cit., hal. 68-69.
[19] I Made Sujana, Ibid, hal. 69, berdasarkan laporan J.C. Wikkerman, Originele aparte missive van den Gouverneur van den Burg.., ARA, VOC 3337, hal. 3.
[20] Ibid, hal. 69.
[21] Nama desa dan lurahnya sebagaimana disebutkan dalam Babad Bayu pupuh vi 11-20 sebagai berikut: Desa Dhadhap (Kidang Wulung), Rewah-Sanji (Kidang Wulung), Suba/Kuwu (Kidang Wulung), Songgon (Ki Sapi Gemarang), Tulah (Ki Lempu Putih), Kadhu (Ki Sidamarga), Derwana (Ki Kendit Mimang), Mumbul (Ki Rujak Sentul), Tembelang (Ki Lembupasangan), Bareng (Ki Kuda Kedhapan), Balungbang (Ki Sumur Gumuling), Lemahbang (Ki Suranata), Gitik (Ki Rujak Watu), Banglor (Ki Suragati), Labancina (Ki Rujak Sinte), Kabat (Ki Pandholan), Kapongpongan (Ki Kamengan), Welaran ( Ki Jeladri), Tambong (Ki Reksa), Bayalangun (Ki Sukanandi), Desa Penataban (Ki Singadulan), Majarata (Ki Maesandanu), Cungking (Ki Jangkrik Suthil), Jelun (Ki Lembu Singa), Banjar (Ki Bakul). Itulah nama-nama desa di Banglor. Sedang desa bagian selatan adalah: Desa Pegambuiran (Ki Serandil), Ngandong (Ki Seja), Cendana (Ki Kebo Waleri), Kebakan (Ki Kebo Waluratu), Cekar (Ki Gundol), Desa Gagenteng (Ki Kudha Serati), Kadhal (Ki Jaran Sukah), Sembulung (Ki Gagak Sitra), Jajar (Ki Gajah Anguli), Benculuk (Ki Macan Jingga), Pelancahan (Ki Butangerik), Keradenan (Ki Jala Sutra), Gelintang (Ki Maesagethuk), Grajagan (Ki Caranggesing). Sedang desa diwilayah timur: Desa Dhulangan, Pruwa/Purwa (Ki Tulup Watangan), Lalerangan (Ki Menjangan Kanin), Mamelik (Ki Surya), Papencan (Ki Bantheng Kanin), Kelonthang (Ki Lembu-Ketawan), Repuwan (Ki Butānguri), Rerampan (Ki Kidang Bunto), Singalatrin (Ki Banyak Ngeremi).
Wilayah utara 2 desa yaitu Desa Jongnila (Ki Gagakngalup) dan desa Konsul (Ki Maesasura). Kemudian kepala desa ayang menyusul: Desa Bubuk (Ki Marga-Supana), Gebang (Ki Jangkrik-Gondhul), Gebang (Ki Jangkrik-Gondhul), Gambor (Ki Bajuldahadhi), Gembelang (Ki Butakorean), Muncar (Ki Genok), Bama (Ki Baluran), Geladhag (Ki Margorupit), Susuhan ( Ki Tambakboyo), Ngalian (Ki Kidang-Garingsing), Tamansari (Ki Gajah Metha), Danasuke (Ki Kebowadhuk), Kalisuca (Ki Jaransari). Babad Bayu (ditulis pada tahun 1826) pupuh vi 11-20 dalam Winarsih PA, op.cit., hal.153-154.

SEJARAH MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA

Pada tahun 30 Hijri atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah.
Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi'i. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.
Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lil'alamin.
Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan rakusnya menguasai daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam seakan terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum kolonialis. Setiap kali para penjajah - terutama Belanda - menundukkan kerajaan Islam di Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang kerajaan tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka. Maka terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab dengan pribumi.
Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan subur makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam, agama seteru mereka, sehingga semangat Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan suatu daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal total setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang pesisir utara Pulau Jawa bahu membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M. Pertempuran besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten, Fathahillah sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari serbuan Turki Utsmani.
Kedatangan kaum kolonialis di satu sisi telah membangkitkan semangat jihad kaum muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata. Hanya kalangan pesantren (madrasah) saja yang mendalami keislaman, itupun biasanya terbatas pada mazhab Syafi'i. Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah dengan tradisi pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah sudah terjangkiti gaya hidup Eropa. Kondisi seperti ini setidaknya masih terjadi hingga sekarang. Terlepas dari hal ini, ulama-ulama Nusantara adalah orang-orang yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak diantara mereka yang berasal dari kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat inilah yang sering bangkit melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap perlawanan ini berhasil ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah mencatat jutaan syuhada Nusantara yang gugur pada berbagai pertempuran melawan Belanda. Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16 dan 17 seperti Malaka (Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa, Makassar, Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus rangin), Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku Umar).
SEJARAH DUNIA © 2008 Template by:
SkinCorner