Kamis, 31 Maret 2011

ADAT ISTIADAT BANTEN


 
Indonesia memang kaya akan kebudayaan dan adat istiadatnya yang kental melingkupi kita. Bisa dibilang sebagai orang Indonesia asli, budaya dan adat istiadat, baik yang diturunkan oleh orang tua atau yang kita terapkan dari lingkungan akan selalu digunakan seiring berjalannya kehidupan kita. Sebagai bukti, tentu kita sudah tidak asing lagi dengan acara ‘Tujuh Bulanan’ yaitu prosesi untuk mendoakan si jabang bayi dan ibunya agar selalu sehat. Ada lagi prosesi adat ketika lahir, cukur rambut. Dan ketika dewasa ada prosesi adat pernikahan bahkan sampai meninggal pun prosesi adat kerap kita jumpai. Hebatnya lagi, tiap daerah di Indonesia memiliki prosesi atau adat istiadat yang berbeda-beda walaupun wilayahnya berdekatan, seperti Prosesi Adat Pernikahan Banten, propinsi yang diapit oleh Jakarta dan Jawa Barat ini memiliki nuansa budaya tersendiri dalam melangsungkan pernikahan. Banten memiliki 3 adat pernikahan yaitu, Banten Kebesaran, Banten Lestari dan Banten Gaya Tangerang. Kesemuanya memiliki ke-khasannya masing-masing, tapi untuk kali ini yang akan diulas adalah Prosesi Adat Pernikahan Banten Kebesaran. Dalam prosesi ini, orang tua kedua calon mempelai menjunjung tinggi norma-norma agama, dalam hal ini agama Islam. Untuk menjaga diri dari pergaulan yang tak pantas, pihak perempuan tidak lazim berdekatan dengan laki-laki yang bukan muhrimnya. Maka peranan orang tua sangatlah dibutuhkan untuk menjembatani keinginan putra-putri mereka. Untuk itu di Banten dikenal dengan istilah Nakeni, adat asli Banten, dimana pihak keluarga perempuan mendahului datang ke tempat orang tua laki-laki, yang dianggap pantas untuk menjadi calon menantunya, untuk mempertanyakan, apakah anak laki-lakinya sudah mempunyai calon istri atau belum. Tapi pada perkembangan saat ini, adat Nakeni di Banten dijadikan suatu upaya untuk mempersatukan keduanya dalam ikatan pernikahan, sehingga terhindar dari hal-hal yang melanggar norma agama. Tahapan selanjutnya adalah Mastetaken, istilah yang digunakan untuk mematangkan rencana yang telah disampaikan pada upacara Nakeni. Wakil orang tua calon pengantin laki-laki berkunjung pada calon pengantin perempuan, untuk melamar dan menentukan hari baik untuk pernikahan. Pada kesempatan ini, dibawakan seserahan yang biasanya berupa seperangkat pakaian perempuan. Pada hari yang telah ditentukan, mempelai laki-laki melaksanakan Akad Nikah. Namun sebelumnya ada upacara Mapag Pengantin atau upacara kedatangan calon pengantin laki-laki beserta keluarganya. Pada prosesi ini pengatin disambut dengan tarian penyambutan khas daerah Banten. Dalam Prosesi Akad Nikah, pengantin perempuan tidak disandingkan dengan pengantin laki-laki. Setelah selesai pelaksanaan Akad Nikah barulah keduanya duduk bersanding. Setelah mendapatkan doa restu dari seluruh keluarga dan handai taulan, pengatin laki-laki pulang ke rumahnya untuk mengikuti acara adat yang akan berlangsung pada malam harinya. Sedangkan pengantin perempuan dan keluarganya tetap di rumah untuk mempersiapkan upacra Mapag Jawadah. Masih dihari yang sama, pada malam harinya diadakan prosesi adat Mapag Jawadah (Juadah). Prosesi ini merupakan penjemputan jawadah atau makanan kecil berbagai jenis seperti kue lapis, pisang setandan, tebu wulung, tumpeng kecil dari beras ketan dan sebagainya dari rumah keluarga pengatin laki-laki. Pengatin perempuan bersama keluarganya meyambangi ke kediamam pengantin laki-laki untuk selajutnya membawa jawadah. Selama Mapag Jawadah, sepanjang perjalanan sambil ber-shalawat. Kedua penagatin selajutnya diarak menuju ke rumah pengatin perempuan yang didampingi keluarga kedua belah pihak serta membawa Jawadah. Sambil diringi lantunan Marhaban, kedua pengantin juga bermaksud diperkenalkan dengan masyarakat sekitar. Setelah tiba di kediaman pengantin perempuan dilanjutkan dengan Yalil (buka pintu). Disini pengatin perempuan dibawa masuk kedalam rumah sedangkan pengatin laki-laki menunggu di depan pintu yang diberi tirai. Pelaksanaan Buka Pintu dilakuakan oleh rombongan Fakih, yang lazim disebut Yalil. Di dalam Yalil tersebut berisi nasehat-nasehat yang diselingi dengan kata-kata menggoda pengantin. Prosesi selanjutnya adalah Ngeroncong (Nyembah). Kedua mempelai duduk dipelaminan, di depannya ada wadah seperti baskom kecil untuk menampung uang. Keluarga dan handai taulan bergatian melemparkan atau memberi uang receh sebagai simbol pemberian bekal untuk memulai hidup baru. Selanjutnya melakukan prosesi Ngedulagi, denga maksud menyatukan kedua pengantin. Yang terakhir merupakan acara arak-arakan atau Ngarak Pengantin, dengan dimeriahkan oleh tabuhan musik rebana dan lantunan doa-doa dan pujian kehadirat Ilahi. Pengantin pun berjalan berkeliling menyalami tamu undangan dan masyarakat sekitar. Dalam adat Banten Kebesaran pakai pernikahan untuk kedua pengantin, menggunakan bahan bludru, umumnya berwana hijau, bisa juga hitam dengan dihiasi motif emas . Hiasan kepala pengantin laki-laki disebut Makutaraja sedangkan yang perempuan Makuta. dan pengantin laki-laki membawa tombak pendek, bukan keris lazimnya masyrakat pulau Jawa. Walaupun pernah menjadi bagian dari Propinsi Jawa Barat, namun Banten mempunyai bahasa sendiri yaitu pencampuran dari bahasa Sunda dan bahasa Jawa. Selain itu prosesi adat di Banten tidak bisa lepas dari pengaruh ajaran Islam, hal ini dikarenakan Banten pernah menjadi kerajaan Islam tertua di Nusantara.

ALAT MUSIK KHAS SUNDA (banten)

Nama Alat Musik Tradisional Khas Daerah Adat Budaya Nasional - Kebudayaan Nusantara Indonesia

1. Provinsi DI Aceh / Nanggro Aceh Darussalam / NAD
Alat Musik Tradisional : TT
2. Provinsi Sumatera Utara / Sumut
Alat Musik Tradisional : Aramba, Doli-doli, Druri dana, Faritia, Garantung, Gonrang, Hapetan,
3. Provinsi Sumatera Barat / Sumbar
Alat Musik Tradisional : Saluang, Talempong Pacik
4. Provinsi Riau
Alat Musik Tradisional : TT
5. Provinsi Jambi
Alat Musik Tradisional : TT
6. Provinsi Sumatera Selatan / Sumsel
Alat Musik Tradisional : TT
7. Provinsi Lampung
Alat Musik Tradisional : TT
8. Provinsi Bengkulu
Alat Musik Tradisional : TT
9. Provinsi DKI Jakarta
Alat Musik Tradisional : TT
10. Provinsi Jawa Barat / Jabar
Alat Musik Tradisional : Arumba, Calung, Dod-dog, Gamelan Sunda, Angklung, Rebab, Siter / Celempung
11. Provinsi Jawa Tengah / Jateng
Alat Musik Tradisional : Gamelan Jawa, Siter / Celempung
12. Provinsi DI Yogyakarta / Jogja / Jogjakarta
Alat Musik Tradisional : TT
13. Provinsi Jawa Timur / Jatim
Alat Musik Tradisional : TT
14. Provinsi Bali
Alat Musik Tradisional : Gamelan Bali
15. Provinsi Nusa Tenggara Barat / NTB
Alat Musik Tradisional : Cungklik
16. Provinsi Nusa Tenggara Timur / NTT
Alat Musik Tradisional : Foi Mere, Sasando, Keloko
17. Provinsi Kalimantan Barat / Kalbar
Alat Musik Tradisional : TT
18. Provinsi Kalimantan Tengah / Kalteng
Alat Musik Tradisional : TT
19. Provinsi Kalimantan Selatan / Kalsel
Alat Musik Tradisional : Babun
20. Provinsi Kalimantan Timur / Kaltim
Alat Musik Tradisional : TT
21. Provinsi Sulawesi Utara / Sulut
Alat Musik Tradisional : TT
22. Provinsi Sulawesi Tengah / Sulteng
Alat Musik Tradisional : TT
23. Provinsi Sulawesi Tenggara / Sultra
Alat Musik Tradisional : TT
24. Provinsi Sulawesi Selatan / Sulsel
Alat Musik Tradisional : Alosu, Anak Becing, Basi-Basi, Popondi, Keso-Keso, Lembang
25. Provinsi Maluku
Alat Musik Tradisional : Floit, Nafiri, Totobuang, Tifa
26. Provinsi Irian Jaya / Papua
Alat Musik Tradisional : Atowo, Tifa, Fu
27. Provinsi Timor-Timur / Timtim
Alat Musik Tradisional : TT
Lain-Lain :
- Gerdek berasal dari daerah Dayak Kalimantan
- Kere-kere galang berasal dari daerah Goa
- Kinu berasal dari daerah Pulau Roti
- Kolintang berasal dari daerah Minahasa
- Sampek berasal dari daerah Dayak Kalimantan
- Talindo berasal dari daerah Sulawesi
- Kecapi berasal dari daerah Seluruh Nusantara Umumnya di Jawa
- Kledi berasal dari daerah Kalimantan
- Serunai berasal dari daerah Sumatera
Keterangan Singkatan :
TT = Tidak Tersedia
Keterangan :
Data ini berdasarkan jaman Indonesia masih 27 propinsi dengan provinsi terakhir masih timor timur. Timor timur kini sudah terpisah dari NKRI menjadi negara baru yang berdaulat dengan nama Timor Leste.

SEJARAH BANTEN

Sejarah Banten

Banten merupakan provinsi yang baru berdiri di era reformasi, tepatnya pada tanggal 6 Oktober 2000. Provinsi Banten ini merupakan pecahan dari provinsi Jawa Barat. Serang ditetapkan sebagai ibukota provinsi Banten. Gubernur Banten yang pertama adalah Dr. H. Djoko Munandar, MSc.

Pada era Kerajaan Sunda Pajajaran, Banten merupakan ancaman bagi kerajaan tersebut. Dalam hal perdagangan, Banten merupakan saingan Sunda Kelapa. Keduanya sama-sama merupakan kota pelabuhan yang penting. Pada abad 13, Sultan Demak menyebarkan Islam di Jawa Barat, yaitu, di Cirebon dan Banten. Hal ini menjadikan Banten sebagai salah satu pusat perkembangan Islam.

Pada tahun 1525, Kesultanan Banten berdiri. Pada era pemerintahan Maulana Hasanuddin, Kesultanan Banten mengalami kemajuan pesat dan semakin memperjelas jati dirinya sebagai pusat penyebaran agama Islam ke seluruh wilayah Pajajaran, bahkan sampai ke beberapa wilayah di Sumatera.

Banten mencapai puncak kejayaannya pada era pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa yang berlangsung dari tahun 1651 sampai tahun 1682. Sementara itu, Belanda terus memperbesar pengaruhnya di Kesultanan Banten. Pada akhirnya mereka berhasil menjalin hubungan dengan putra mahkota Pangeran Gusti atau Pangeran Anom. Hubungan putranya dengan Belanda sangat menggusarkan Sultan Ageng. Akhirnya Sultan Gusti diperintahkan untuk memperdalam ilmu agama di Mekkah, sekaligus menjalankan ibadah haji.  Sekembalinya dari tanah suci, Pangeran Gusti dikenal dengan sebutan Sultan Haji. Dia kemudian menjalankan roda pemerintahan Banten dengan tetap didukung oleh ayahnya.

Prilaku sultan Haji ternyata tidak berubah. Dia tetap menjalin hubungan mesra dengan Belanda. Untuk menyadarkan anaknya tersebut, Sultan Ageng yang ketika itu telah tinggal terpisah dari anaknya, mengirimkan pasukan ke Surosowan, tempat kediaman Sultan Haji. Namun Sultan Haji melakukan perlawanan terhadap pasukan yang dikirim  ayahnya tersebut, bahkan dia meminta bantuan Belanda.

Belanda, yang telah lama berambisi untuk menguasai Banten, tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Mereka langsung mengirimkan pasukan. Akhirnya, terjadi pertempuran sengit antara pasukan Sultan Ageng melawan Belanda. Akhirnya Belanda dapat mendesak pasukan Sultan Ageng. Mereka menduduki kediaman Sultan Ageng, yaitu, Keraton Tirtayasa. Sultan Ageng dan beberapa pembesar Banten lainnya melakukan perang gerilya.

Belanda yang menyadari tidak akan mampu mengalahkan Sultan Ageng secara penuh, akhirnya memakai tipu muslihat. Mereka mempergunakan Sultan Haji untuk memohon kepada ayahnya agar perlawanannya dihentikan dan kembali ke Surosowan dan dijanjikan mendapat jaminan kemerdekaan dan kebebasan bergerak. Sultan Ageng menuruti permohonan putranya tersebut dan kembali ke Surosowan. Namun Belanda mengingkari janji dan menangkap Sultan Ageng untuk kemudian ditahan di Batavia sampai wafat tahun 1692.

Hubungan yang dijalin Sultan Haji dengan Belanda ini ternyata harus dibayar mahal. Sultan Haji dipaksa untuk menandatangai perjanjian yang isinya antara lain berakhirnya kekuasaan mutlak Sultan Banten dan Belanda diperbolehkan melakukan monopoli perdagangan. Dengan perjanjian itu, Banten sesungguhnya sudah bukan daerah merdeka lagi, karena segala sesuatunya, terutama perdagangan, ditentukan oleh Belanda.

Perkembangan selanjutnya sangat menggelisahkan rakyat, yaitu, terjadi perebutan kekuasaan adat istiadat dan prilaku etis telah ditanggalkan. Akhirnya kegelisahan tersebut tidak dapat dibendung lagi dan terjadilah pemberontakan rakyat. Dengan dipimpin oleh dua tokoh yang ditaati rakyat, yaitu, Ratu Bagus Buang dan Kiai Tapa, mereka mengangkat senjata.

Pada tahun 1807, secara resmi Belanda memproklamasikan bahwa Kepulauan Nusantara adalah bagian dari Kerajaan Belanda. Sebagai Gubernur Jenderal yang pertama adalah Herman Wilhelm Daendles (1808-1811). Dalam masa kekuasaannya, Daendles berencana membangun jalan raya antara Anyer yang terletak di ujung barat Pulau Jawa dan termasuk wilayah Banten sampai ke Panarukan di ujung timur Pulau Jawa. Sultan Banten menolak untuk menyediakan pekerja yang akan dipekerjakan secara kerja rodi. Penolakan ini membuat Daendles marah dan kemudian menyerang Keraton Banten tanggan 21 November 1808. Sultan Banten ditangkap dan dibuang ke Ambon. Kesultanan Banten sendiri dihapuskan dan dijadikan wilayah Keresidenan.
       
Perlawanan rakyat Banten terhadap penjajah terus berlanjut sampai awal kemerdekaan, meskipun tidak secara besar-besaran lagi. Ketika di awal masa kemerdekaan Jawa Barat ditetapkan sebagai salah satu provinsi dari delapan provinsi yang ada di Indonesia, Banten merupakan salah satu keresidenan di wilayah provinsi Jawa Barat tersebut.

KEBUDAYAAN BANTEN

Kebudayaan Banten
Banyak para ahli mendefinisikan kebudayaan yang secara redaksional dan mungkin substansial berbeda satu sama lain. Kaitan dengan upaya agar mudah melihat kebudayaan Banten, konsep kebudayaan yang kiranya sederhana ialah yang dikemukakan oleh Dr. Koentjaaningrat. Ia menyatakan bahwa kebudayaan ialah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Definisi ini menunjukkan dengan jelas bahwa kebudayaan itu meliputi dimensi gagasan (sebagai aspek ideal yang tidak terlihat), dimensi perbuatan (tindakan) (sebagai aspek faktual yang dapat dilihat), dan dimensi hasil karya (sebagai aspek fisik yang dapat dilihat dan diamati berulang kali).
Dari ketiga dimensi tersebut yang bisa dikenali secara langsung adalah kebudayaan pada dimensi fisik dan perbuatan (kelakuan). Kemudian diperlukan juga kejelasan pada unsur apa dua dimensi tersebut diamati. Yang paling mungkin ialah pada unsur-unsur kebudayaan yang menurut Koentjaraningrat ada tujuh unsur, yaitu:

1. Bahasa
2. Sistem Pengetahuan
3. Organisasi Sosial
4. Sistem Religi
5. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
6. Sistem Mata Pencaharian Hidup
7. Kesenian
Banten sebagai komunitas kultural sebagaimana dinyatakan di atas, tentu dengan kebudayaannya itu dapat diamati (dipotret) melalui unsur-unsur kebudayaannya, khususnya melalui dan pada dimensi fisik atau kelakuan (perbuatan). Unsur-unsur kebudayaan tersebut memang ada pada kebudayaan Banten yang berarti bahwa Banten sebagai komunitas kultural adalah benar. Pengamatan untuk ini dilakukan dengan melihat sisi-sisi tradisi dan sisa-sisa peninggalan fisik (artefak) di Banten yang secara simbolik dapat diinterpretasi. Apalagi sisa-sisa tradisi dan sisa-sisa peninggalan fisik itu menurut Ambari, sarat dengan ciri dan pengaruh Islam.

Budaya Banten dan Perubahan-perubahannya
Melalui unsur-unsur kebudayaan, kiranya dapat digambarkan keberadaan Banten dari masa pertama dan perkembangannya kini. Secara deskriptif dapat dikemukakan sbb:
Bahasa. Sebelum kedatangan Syarif Hidayatullah di Banten bahasa penduduk yang pusat kekuasaan politiknya di Banten Girang, adalah bahasa Sunda. Sedangkan bahasa Jawa, dibawa oleh Syarif Hidayatullah, kemudian oleh puteranya, Hasanuddin, berbarengan dengan penyebaran agama Islam. Dalam kontak budaya yang terjadi, bahasa Sunda dan bahasa Jawa itu saling mempengaruhi yang pada gilirannya membentuk bahasa Jawa dengan dialek tersendiri dan bahasa Sunda juga dengan dialeknya sendiri. Artinya, bahasa Jawa lepas dari induknya (Demak, Solo, dan Yogya) dan bahasa Sunda juga terputus dengan pengembangannya di Priangan sehingga membentuk bahasa sunda dengan dialeknya sendiri pula; kita lihat misalnya di daerah-daerah Tangerang, Carenang, Cikande, dan lain-lain, selain di Banten bagian Selatan.
Bahasa Jawa yang pada permulaan abad ke-17 mulai tumbuh dan berkembang di Banten, bahkan menjadi bahasa resmi keraton termasuk pada pusat-pusat pemerintahan di daerah-daerah. Sesungguhnya pengaruh keraton itulah yang telah menyebabkan bahasa Jawa dapat berkembang dengan pesat di daerah Banten Utara. Dengan demikian lambat laun pengaruh keraton telah membentuk masyarakat berbahasa Jawa. Pada akhirnya, bahasa Jawa Banten tetap berkembang meskipun keraton tiada lagi.
Bahasa Jawa dimaksud dalam pengungakapannya menggunakan tulisan Arab (Pegon)  seperti kita temukan pada manuskript, babad, dan dokumen-dokumen tertentu. Penggunaan huruf Arab (Pegon) didorong oleh dan disebabkan karena:
Penggunaan aksara lama terdesak oleh huruf Arab setelah Islamisasi.
Huruf Arab menjadi sarana komunikasi kaum maju, sedangkan aksara menjadi alat komunikasi kaum elit/lama/feodal, ditambah pihak kolonial yang mengutamakan aksara Ijawa). Kaum maju tersebut adalah masyarakat pemberontak, atau setidak-tidaknya tidak setuju dengan adanya penguasaan asing sehingga huruf Arab dipergunakan sebagai sarana lebih aman dan juga rahasia.
Di lain pihak, terutama kaum lama, penggunan huruf Pegon memberikan corak Islam dalam tulisan yang tidak selalu bersifat Islam, sehingga lebih aman beredar/mengisi permintaan rakyat.

Untuk mempermudah kajian dan penelitian isi, terutama masalah-masalah hukum, huruf Arab lalu disalin ke dalam tulisan (huruf) latin sebelum kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa lain, terutama Belanda. Bahasa Jawa dengan tulisan latin itu merupakan perkembangan kemudian karena pada aslinya menggunakan tulisan Arab. Demikian pula perkembangan perbendaharaan kata dipengaruhi oleh lingkungan bahasa Sunda, bahasa Arab, dan bahasa lain. Pada jaman penjajahan Belanda, ada juga pengaruh bahasa Belanda yang masuk ke dalam bahasa Jawa, misalnya sekola, yang semula ginau. Pada perkembangan sekarang, bahasa Jawa Banten ternyata juga dipengaruhi oleh bahasa Indonesia; mungkin demikian seterusnya, tetapi bahasa ini akan tetap ada sesuai dengan keberadaan pendukungnya.

Sistem Pengetahuan
Pengetahuan manusia merupakan akumulasi dari tangkapannya terhadap nilai-nilai yang diacu dan dipahami, misalnya agama, kebiasaan, dan aturan-aturan. Pengetahuan manusia tidak berdiri sendiri melainkan berhubungan dengan elemen-elemen lain, dan karena itu maka disebut sistem pengetahuan. Salah satu (sistem) pengetahuan sebagai salah satu unsur kebudayaan Banten adalah misalnya pengetahuan tentang kosmologi (alam semesta). Pada fase perkembangan awal pengetahuan tentang kosmologi orang Banten adalah bahwa alam ini milik Gusti Pangeran yang dititipkan kepada Sultan yang berpangkat Wali setelah Nabi. Karena itu hierarchi Sultan adalah suci.
Gusti Pangeran itu mempunyai kekuatan yang luar biasa yang sebagian kecil dari kekuatannya itu diberikan kepada manusia melalui pendekatan diri. Yang mengetahui formula-formula pendekatan diri untuk memperoleh kekuatan itu adalah para Sultan dan para Wali, karena itu Sultan dan para Wali itu sakti. Kesaktian Sultan dan para wali itu dapat disebarkan kepada keturunan dan kepada siapa saja yang berguru (mengabdi).
Pengetahuan yang berakar pada kosmologi tersebut masih ada sampai kini sehingga teridentifikasi dalam pengetahuan magis. Mungkin dalam perkembangan kelak tidak bisa diprediksi menjadi hilang, bahkan mungkin menjadi alternartif bersama-sama dengan (sistem) pengetahuan yang lain.
Organisasi Sosial
Yang dimaksud dengan organisasi sosial adalah suatu sistem dimana manusia sebagai mahluk sosial berinteraksi. Adanya organisasi sosial itu karena ada ketundukan terhadap pranata sosial yang diartikan oleh Suparlan sebagai seperangkat aturan-aturan yang berkenaan dengan kedudukan dan penggolongan dalam suatu struktur yang mencakup suatu satuan kehidupan sosial, dan mengatur peranan serta berbagai hubungan kedudukan, dan peranan dalam tindakan-tindakan dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan.
Di antara bentuk organisasi sosial di Banten adalah stratifikasi sosial. Pada awal di jaman Kesultanan, lapisan atas dalam stratifikasi sosial adalah pada Sultan dan keluarganya/keturunannya sebagai lapisan bangsawan. Kemudian para pejabat kesultanan, dan akhirnya rakyat biasa. Pada perkembangan selanjutnya, hilangnya kesultanan, yang sebagian peranannya beralih pada Kiyai (kaum spiritual), dalam stratifikasi sosial merekalah yang ada pada lapisan atas. Jika peranan itu berpindah kepada kelompok lain, maka berpindah pulalah palisan itu.

Sistem Religi
Yang dimaksud dengan sistem religi adalah hubungan antar elemen-elemen dalam upacara agama. Agama Islam sebagai agama resmi keraton dan keseluruhan wilayah kesultanan, dalam upacara-upacaranya mempunyai sistem sendiri, yang meliputi peralatan upacara, pelaku upacara, dan jalannya upacara. Misalnya dalam upacara Salat, ada peralatan-peralannya dari sejak mesjid, bedug, tongtong, menara, mimbar, mihrab, padasan (pekulen), dan lain-lain. Demikian pula ada pelakunya, dari sejak Imam, makmum, tukang Adzan, berbusana, dan lain-lain; sampai kemudian tata cara upacaranya.
Di jaman kesultanan, Imam sebagai pemimpin upacara Salat itu adalah Sultan sendiri yang pada transformasinya kemudian diserahkan kepada Kadi. Pada perubahan dengan tidak ada sultan, maka upacara agama berpindah kepemimpinannya kepada kiyai. Perkembangan selanjutnya bisa jadi berubah karena transformasi peranan yang terjadi.

Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
Kehidupan masyarakat memang memerlukan peralatan dan teknologi. Memperhatikan paralatan hidup dan teknologi dalam kebudayaan Banten, dapat diperoleh informasinya dari peninggalan masa lalu. Salah satu diantaranya misalnya relief, penemuan benda-benda arkeologis, dan catatan-catatan masa lalu. Di jaman kesultanan, kehidupan masyarakat ditandai dengan bertani, berdagang, dan berlayar termasuk nelayan. Dari corak kehidupan ini terlihat bahwa peralatan hidup bagi petani masih terbatas pada alat-alat gali dan lain-lain termasuk pemanfaatan hewan sebagai sumber energi.
Angkutan dan teknologi pelayaran masih memanfaatkan energi angin yang karenanya berkembang pengetahuan ramalan cuaca secara tradisional, misalnya dengan memanfaatkan tanda-tanda alam. Demikian pula teknik pengolahan logam, pembuatan bejana, dan lain-lain, memanfaatkan energi alam dan manusia. Tentu saja aspek (unsur kebudayaan) ini secara struktural mengalami perubahan pada kini dan nanti, meski secara fungsional mungkin tetap.

Sistem Mata Pencaharian Hidup
Gambaran perkembangan mengenai hal ini untuk sejarah manusia, akan tersentuh dengan kehidupan primitif, dari hidup berburu sampai bercocok tanam. Hubungannya dengan kebudayaan Banten, sistem mata pencaharian hidup sebagai salah satu unsur kebudayaan, terlihat dari jaman kesultanan. Mata pencaharian hidup dari hasil bumi menampilkan adanya pertanian. Dalam sistem pertanian itu ada tradisi yang masih nampak, misalnya hubungan antara pemilik tanaman (petani) dan orang-orang yang berhak ikut mengetam dengan pembagian tertentu menurut tradisi.
Dalam nelayan misalnya ada sistem simbiosis antara juragan dan pengikut-pengikutnya dalam usaha payang misalnya. Kedua belah pihak dalam mata pencaharian hidup itu terjalin secara tradisional dalam sistem mata pencaharian. Mungkin pula hubungan itu menjadi hubungan kekerabatan atau hubungan Patron-Clien.
Pada masa kini kemungkinan sistem tersebut sudah berubah, disamping karena perubahan mata pencaharian hidup, juga berubah dalam sistemnya karena penemuan peralatan (teknologi) baru. Demikian pula kemungkinan di masa yang akan datang.
Kesenian
Kesenian adalah keahlian dan keterampilan manusia untuk menciptakan dan melahirkan hal-hal yang bernilai indah. Ukuran keindahannya tergantung pada kebudayaan setempat, karena kesenian sebagai salah satu unsur kebudayaan. Dari segi macam-macamnya, kesenian itu terdapat banyak macamnya, dari yang bersumber pada keindahan suara dan pandangan sampai pada perasaan, bahkan mungkin menyentuh spiritual.
Ada tanda-tanda kesenian Banten itu merupakan kesenian peninggalan sebelum Islam dan dipadu atau diwarnai dengan agama Islam. Misalnya arsitektur mesjid dengan tiga tingkat sebagai simbolisasi Iman, Islam, Ihsan, atau Syari’at, tharekat, hakekat. Arsitektur seperti ini berlaku di seluruh masjid di Banten. Kemudian ada kecenderungan berubah menjadi bentuk kubah, dan mungkin pada bentuk apa lagi, tapi yang nampak ada kecenderungan lepas dari simbolisasi agama melainkan pada seni itu sendiri.
Arsitektur rumah adat yang mengandung filosofi kehidupan keluarga, aturan tabu, dan nilai-nilai prifasi, yang dituangkan dalam bentuk ruangan paralel dengan atap panggung Ikan Pe, dan tiang-tiang penyanggah tertentu. Filosofi itu telah berubah menjadi keindahan fisik sehingga arsitekturnya hanya bermakna aestetik.
Mengenai kesenian lain, ada pula yang teridentifikasi kesenian lama (dulu) yang belum berubah, kecuali mungkin kemasannya. Kesenian-kesenian dimaksud ialah:
1. Seni Debus Surosowan
2. Seni Debus Pusaka Banten
3. Seni Rudat
4. Seni Terbang Gede
5. Seni Patingtung
6. Seni Wayang Golek
7. Seni Saman
8. Seni Sulap-Kebatinan
9. Seni Angklung Buhum
10. Seni Beluk
11. Seni Wawacan Syekh
12. Seni Mawalan
13. Seni Kasidahan
14. Seni Gambus
15. Seni Reog
16. Seni Calung
17. Seni Marhaban
18. Seni Dzikir Mulud
19. Seni Terbang Genjring
20. Seni Bendrong Lesung
21. Seni Gacle
22. Seni Buka Pintu
23. Seni Wayang Kulit
24. Seni Tari Wewe
25. Seni Adu Bedug
26. Dan lain-lain
Kesenian-kesenian tersebut masih tetap ada, mungkin belum berubah kecuali kemasan-kemasannya, misalnya pada kesenian kasidah dan gambus. Relevansi kesenian tradisional ini mungkin, jika berkenaan dengan obyek kajian penelitian maka yang diperlukan adalah orsinilitasnya. Tetapi jika untuk kepentingan pariwisata maka perlu kemasan yang menarik tanpa menghilangkan substansinya.
Walaupun mungkin, secara umum kesenian-kesenian tersebut akan tunduk pada hukum perubahan sehubungan dengan pengaruh kebudayaan lain. Mungkin karena tidak diminati yang artinya tidak ada pendukung pada kesenian itu, bisa jadi lama atau tidak, akan punah. Karena itu, mengenai kesenian yang tidak boleh lepas dari nilai-nilai Kebudayaan Banten, bisa jadi atau malah harus ada perubahan kemasan.

Penutup
Banten sebagai komunitas kutural memang mempunyai kebudayaannya sendiri yang ditampilkan lewat unsur-unsur kebudayaan. Dilihat dari unsur-unsur kebudayaan itu, masing-masing unsur berbeda pada tingkat perkembangan dan perubahannya. Karena itu terhadap unsur-unsur yang niscaya harus berkembang dan bertahan, harus didorong pula bagi pendukungnya untuk terus menerus belajar (kulturisasi) dalam pemahaman dan penularan kebudayaan.
Kalau boleh dikatakan, menangkap potret budaya Banten adalah upaya yang harus serius, kalau tidak ingin menjadi punah. Kepunahan suatu kebudayaan sama artinya dengan lenyapnya identitas. Hidup tanpa identitas berarti berpindah pada identitas lain dengan menyengsarakan identitas semula.

Kamis, 24 Maret 2011

SEJARAH BANTEN

ASAL MUASAL
peta-banten.jpg
Tidak banyak yang diketahui mengenai sejarah dari bagian terbarat pulau Jawa ini, terutama pada masa sebelum masuknya Islam. Keberadaanya sedikit dihubungkan dengan masa kejayaan maritim Kerajaan Sriwijaya, yang menguasai Selat Sunda, yang menghubungkan pulau Jawa dan Sumatera. Dan juga dikaitkan dengan keberadaan Kerajaan Sunda Pajajaran, yang berdiri pada abad ke 14 dengan ibukotanya Pakuan yang berlokasi di dekat kota Bogor sekarang ini. Berdasarkan catatan, Kerajaan ini mempunyai dua pelabuhan utama, Pelabuhan Kalapa, yang sekarang dikenal sebagai Jakarta, dan Pelabuhan Banten.
Dari beberapa data mengenai Banten yang tersisa, dapat diketahui, lokasi awal dari Banten tidak berada di pesisir pantai, melainkan sekitar 10 Kilometer masuk ke daratan, di tepi sungai Cibanten, di bagian selatan dari Kota Serang sekarang ini. Wilayah ini dikenal dengan nama “Banten Girang” atau Banten di atas sungai, nama ini diberikan berdasarkan posisi geografisnya. Kemungkinan besar, kurangnya dokumentasi mengenai Banten, dikarenakan posisi Banten sebagai pelabuhan yang penting dan strategis di Nusantara, baru berlangsung setelah masuknya Dinasti Islam di permulaan abad ke 16.
peta-banten-2.jpg
Peta Lokasi Banten Girang
Penelitian yang dilakukan di lokasi Banten Girang di tahun 1988 pada program Ekskavasi Franco – Indonesia, berhasil menemukan titik terang akan sejarah Banten. Walaupun dengan keterbatasan penelitian, namun banyak bukti baru yang ditemukan. Sekaligus dapat dipastikan bahwa keberadaan Banten ternyata jauh lebih awal dari perkiraan semula dengan ditemukannya bukti baru bahwa Banten sudah ada di awal abad ke 11 – 12 Masehi. Banten pada masa itu sudah merupakan kawasan pemukiman yang penting yang ditandai dengan telah dikelilingi oleh benteng pertahanan dan didukung oleh berbagai pengrajin mulai dari pembuat kain, keramik, pengrajin besi, tembaga, perhiasan emas dan manik manik kaca. Mata uang logam (koin) sudah digunakan sebagai alat pembayaran, dan hubungan internasional sudah terjalin dengan China, Semenanjung Indochina, dan beberapa kawasan di India.
banten-girang1.jpg
Lokasi Banten Girang
banten-girang2.jpg
Banten Girang : Pertapaan yang diukir di dalam bukit batu
Secara nyata, tidak ada keputusan final yang dapat diambil sebelum penelitian dilakukan lebih lanjut, tapi dapat dipastikan bahwa keberadaan Banten sudah berlangsung sangat lama dan teori bahwa keberadaannya dimulai pada saat terbentuknya Kerajaan Islam di Banten, tidak lagi dapat dipertahankan.
Bangsa Portugis telah mendokumentasikan keberadaan Banten dan sekitarnya pada awal abad ke 16, kurang lebih 15 tahun sebelum Kerajaan Islam Banten terbentuk.
Setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, bangsa Portugis memulai perdagangan dengan bangsa Sunda. Ketertarikan utama mereka adalah pada Lada yang banyak terdapat di kedua sisi Selat Sunda. Bangsa Cina juga sangat berminat pada jenis rempah rempah ini, dan kapal Jung mereka telah berlayar ke pelabuhan Sunda setiap tahunnya untuk membeli lada. Walaupun Kerajaan Pajajaran masih berdiri, namun kekuasaannya mulai menyusut. Kelemahan ini tidak luput dari perhatian Kerajaan Islam Demak. Beberapa dekade sebelumnya Kerajaan Demak telah menguasai bagian timur pulau Jawa dan pada saat itu bermaksud untuk juga menguasai pelabuhan Sunda. Masyarakat Sunda, memandang serius ekspansi Islam, melihat makin berkembangnya komunitas ulama dan pedagang Islam yang semakin memiliki peranan penting di kota pelabuhan “Hindu”.
Menghadapi ancaman ini, Otoritas Banten, baik atas inisiatifnya sendiri maupun atas seizin Pakuan, memohon kepada bangsa Portugis di Malaka, yang telah berulangkali datang berniaga ke Banten. Di mata otoritas Banten, bangsa Portugis menawarkan perlindungan ganda; bangsa Portugis sangat anti Islam, dan armada lautnya sangat kuat dan menguasai perairan di sekitar Banten. Banten, di sisi lain, dapat menawarkan komoditas lada bagi Portugis. Negosiasi ini di mulai tahun 1521 Masehi.
Tahun 1522 Masehi, Portugis di Malaka, yang sadar akan pentingnya urusan ini, mengirim utusan ke Banten, yang dipimpin oleh Henrique Leme. Perjanjian dibuat antara kedua belah pihak, sebagai ganti dari perlindungan yang diberikan, Portugis akan diberikan akses tak terbatas untuk persediaan lada, dan diperkenankan untuk membangun benteng di pesisir dekat Tangerang. Kemurah hatian yang sangat tinggi ini menggaris bawahi tingginya tingkat kesulitan yang dihadapi Banten. Pemilihan pembuatan benteng di daerah Tangerang tidak diragukan lagi untuk dua alasan : yang pertama, agar Portugis dapat menahan kapal yang berlayar dari Demak, dan yang kedua untuk menahan agar armada Portugis yang sangat kuat pada saat itu, tidak terlalu dekat dengan kota Banten. Aplikasi dari perjanjian ini adalah adanya kesepakatan kekuasaan yang tak terbatas bagi Portugis. Lima tahun yang panjang berlalu, sebelum akhirnya armada Portugis tiba di pesisir Banten, di bawah pimpinan Francisco de Sá, yang bertanggungjawab akan pembangunan benteng.
Sementara itu, situasi politik telah sangat berubah dan sehingga armada Portugis gagal untuk merapat ke daratan. Seorang ulama yang sekarang dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati, penduduk asli Pasai, bagian utara Sumatera setelah tinggal beberapa lama di Mekah dan Demak, pada saat itu telah menetap di Banten Girang, dengan tujuan utama untuk menyebarkan ajaran agama Islam. Walaupun pada awalnya kedatangannya diterima dengan baik oleh pihak otoriti, akan tetapi Ia tetap meminta Demak mengirimkan pasukan untuk menguasai Banten ketika Ia menilai waktunya tepat. Dan adalah puteranya, Hasanudin, yang memimpin operasi militer di Banten. Islam mengambil alih kekuasaan pada tahun 1527 M bertepatan dengan datangnya armada Portugis. Sadar akan adanya perjanjian antara Portugis dengan penguasa sebelumnya, Islam mencegah siapapun untuk merapat ke Banten. Kelihatannya Kaum Muslim menguasai secara serempak kedua pelabuhan utama Sunda, yaitu Kalapa dan Banten, penguasaan yang tidak lagi dapat ditolak oleh Pakuan.
Sebagaimana telah sebelumnya dilakukan di Jawa Tengah, Kaum Muslim, sekarang merupakan kelas sosial baru, yang memegang kekuasaan politik di Banten, dimana sebelumnya juga telah memegang kekuasaan ekonomi. Putera Sunan Gunung Jati, Hasanudin dinobatkan sebagai Sultan Banten oleh Sultan Demak, yang juga menikahkan adiknya dengan Hasanudin. Dengan itu, sebuah dinasti baru telah terbentuk pada saat yang sama kerajaan yang baru didirikan. Dan Banten dipilih sebagai ibukota Kerajaan baru tersebut. hiks

Rabu, 23 Maret 2011

Senin, 21 Maret 2011

SEJARAH BANTEN SELATAN

Entri BlogBAYAH, Kabupaten Lebak - Banten SelatanMay 1, '07 8:06 AM
untuk
Sedikit cerita mengenai satu kota kecamatan kecil yang memiliki pantai yang indah di daerah selatan Jawa Barat.  Jika menggunakan kendaraan pribadi, dari Jakarta masuk tol Tanggerang hingga Serang Timur. Dari Serang Timur menuju ke arah Saketi, Pandeglang. Dari Saketi menyusuri jalur berkelok-kelok di Banjasari hingga Malingping.  Kemudian melewati pantai Bagedur, yang bunyi ombak bergedur-gedur. Kemudian melewati Pantai Cihara di Panggarangan, dimana ada pasar dan jembatan panjang.  Pantai yang indah, dapat dilihat dari puncak ketinggian jalan. Setelah Cihara kita akan memasuki kota Bayah. 
Bayah adalah kota yg kecil mungkin lebih cocok disebut desa. Tidak banyak yg saya ketahui asal usul kota ini, begitu juga dengan penduduk disana yg kebanyakan adalah turunan pendatang.  Dari cerita yang saya dapat, mayoritas penduduk disana adalah turunan dari Jawa, yg dahulunya ditugaskan kerja rodi (paksa) di jaman belanda dan jepang.  Namun ada juga pendatang dari daerah Cirebon yang masuk saat penyebaran agama IslamKonon saat masuknya agama islam di wilayah banten.  Pihak kerajaan Banten Tua, tampa pertempuran, langsung menyerahkan istana dan mereka beserta pengikutnya masuk kedaerah bagian dalam, yang kemudian hari lebih dikenal sebagai suku Badui.    
Namanya BAYAH mungkin diambil dari bahasa arab 'Pledge of loyalty" = Sumpah atau janji Setia.  Kalau disundanya arti Bayah itu "jeroan" hati, usus dan limpa. Jadi kagak nyambung, tapi karena ada nama Cikotok (Air Ayam), mungkin bisa nyambung juga....Jeroannya Ayam.  Itulah kata bahasa KIRATAnya, dikira-kira tapi nyata.
Pada zaman Belanda, aktivitas di Bayah sudah cukup ramai.  Bayah merupakan jalur ekonomi darat yang penting khususnya membawa hasil tambang emas ke pelabuhan Banten untuk dikirim ke Eropa Sebelum Singapore ada, Banten telah menjadi pusat perdagang Asia yg cukup terkenal hingga memiliki duta-duta di Eropa dan Afrika.  Alfred Russel Wallace, explorer dan ilmuwan yg ditugaskan ratu Victoria  Spanyol,  dalam expedisinya ke Asia tenggara sering menjelajah melalui pelabuhan Banten.  Bayangkan waktu saya SMP, tahun 1976, masih dapat dijumpai rel kereta api sepanjang pantai selatan, memampang diatas pantai dari Malimping hinggga Bayah.  Sayang sekarang yg tertinggal hanya tanggul jembatannya saja.  Sangking terkenalnya daerah ini,  Tan Malaka tokoh perjuangan yg sangat misterius dan revolusioner, pernah hidup bertahun tahun di Bayah.  Ia menyamar menjadi kuli kasar (Baca Buku..... Manikebu - Cultural Manifesto), berbaur dengan para rodin.  Bayangkan bagaimana pentingnya Bayah jaman dahulu, sampai Tan Malaka mau hidup lama dan susah disana.
Sejarah daerah tanah Pasundan, khususnya banten selatan, masih banyak yg tidak terungkapkan.  Sedikit buku sejarah yang bercerita tentang tanah ini.  Hanya dari cerita kokolot (orang tua) kisah seperti ini kita dapat.  Kebenarannya tidak bisa dibuktikan, tapi keberadaannya bisa dirasakan.
Sunda dan Jawa
Sejarah SUNDA dan JAWA punya cerita tersendiri.  Kisahnya masih menimbulkan intrik tersendiri hingga saat kini.  Gagalnya perkawinan Hayam Wuruk, Raja dari Majapahit, dan Diah Pitaloka, puteri Pasundan, banyak menyimpan dendam temurun dikalangan ninggrat sunda demikian juga suku jawanya...  Coba cari di Jawa barat kalau anda bisa temukan Jl. Gajah Mada, Jl. Majapahit dan Jl. Hayam Wuruk.
Kalau melihat sejarah dan peta nusantara jaman dahulu.  Nusantara (hindia belanda) dibagi atas dua wilayah, Sunda Besar dan Sunda Kecil. Namun sekarang hanya tinggal Selat Sunda saja.  Lucu tapi nyata, dan bukan mau belain urang sunda nih.  Hanya memang bercerita tentang sejarah banyak sekali dipengaruhi pemerannya yang berkuasa pada masa itu.  Demikian juga dengan Badak Jawa, Rhinocerus Javanicus seharusnya Rhinocerus Sundanicus atau Badak Sunda yang terdapat di Ujung Kulon dan dahulunya juga terdapat dihutan-hutan sekitar Pasundan; TNG Halimun.
Dan kisah ini terus berkepanjangan dalam kisah Nyi Roro Kidul, putri raja Padjadajaran yg sedih karena difitnah dan diguna-guna selir-selir raja, kemudia sang putri lari dan terjun kelaut agar mati, namun takdir merubahnya menjadi mahluk halus yang memerintah kerajaan pantai salatan. Hingga perkawinan dan perseteruannya dengan raja-raja Mataram dan turunannya (kesultanan Djogja & Surakarta) untuk balas dendam ke Padjadjaran.  Hingga saat ini, upacara kebersamaan antara Ratu Selatan dan Kesultanan Jogja masih tetap dilakukan sebagai upacara yang sangat sakral
Hancurnya kerajaan Padjadjaran pada jaman masuknya islam di pulau Jawa punya kisah tersendiri.  Kisah ini tidak lepas dari tragedi rumah tangga. Dimana Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatulah) yang menajdi sultan Cirebon, dan Hasanudin putra dari sunan Gunung Jati yg menjadi sultan banten, berkolaborasi dengan Mataram menyerang Padjadjaran untuk mengislamkan Padjadjaran. Sunan Gunung Jati sendiri adalah Cucu dari Prabu Siliwangi (babad Tanah Cirebon).  Konon Ratu Pantai Selatan turut membantu Mataram dalam pertempuran ini.  Kolaborasinya dengan Mataram merupakan pewujudan niat balas dendam kepada Prabu Siliwangi yang tidak bertindak arif padanya.
Tidak dicatat dalam sejarah bagaimana Kerajaan Padjadjaran hancur. Hanya orang-orang tua pintar di tanah sunda bercerita, bahwa Prabu Siliwangi dkk. menghilang beserta istananya, karena tidak mau masuk islam dan tidak mau bertempur dengan turunannya.  Diperkirakan istananya itu ada di daerah Bogor, tepatnya di kebun raya Bogor.  Namun ada juga yg mengatakan di Gunung Salak, dan juga di Pulau Panaitan. 
Di tahun bahela, di perbukitan batu dari Bayah menuju Cikotok, penduduk masih suka melihat penampakan seekor Harimau yg dipercaya sebagai wujud penjelmaan dari sang Prabu Siliwangi.  Menurut penduduk sana, jika kita bertemu dengan harimau tersebut itu merupakan pertanda yang baik...
maka dari itu kta harus menjaga dan melestarikan budaya dan kekayaan yang telah di wariskan leluhur/ nenek moyang kita kepada kita..
kita sebagi penerus bangsa harus menjaganya...
nah jagalah selalu dan jangan sampai orang lain meruaknya hikss > , <
SEJARAH DUNIA © 2008 Template by:
SkinCorner